Hari itu, seperti biasa, Zed Abidien sibuk mencari warnet untuk menjalani tugasnya. Memilah naskah, cek data, hingga menyiapkan artikel siap tayang untuk TEMPO. Warnet pertama adalah langganannya di Mojokerto.
Sayang, hari itu ada kendala teknis yang memaksa Zed mencari tempat lain. Berpindah di warnet lain, akhirnya ia bertemu tempat yang tepat.
“Sebetulnya ada dua editor yang lain, tapi hari itu sedang off. Saya kebut sendirian dari Mojokerto,” kenang Zed, saat ditemui di rumahnya, Selasa (25/12/2018) siang.
Harusnya ini jadi rutinitas biasa. Tapi di tengah proses editing naskah, tiba-tiba Zed merasa pusing. Keringat dingin mengalir di beberapa bagian tubuh. Tak berpikir macam-macam, ia langsung menghubungi anaknya agar segera mengirim air dan obat sakit kepala.
Ternyata apa yang dirasakan Zed makin menjadi. Tak lama berselang, ia bahkan kesulitan menggerakkan tangannya. “Dalam hati saya langsung berpikir, wah, ini stroke. Saya langsung menghubungi istri saya. Hari itu juga saya dibawa ke rumah sakit,” katanya.
Hari berlalu, Zed hanya bisa pasrah saat mendengar penjelasan dokter. Hal yang dulu pernah ia dengar dari kawan, nara sumber, dan berita-berita di media, akhirnya melekat pada dirinya.
Bahwa ia memang menderita stroke. Bahwa separuh tubuhnya lumpuh dan tak bisa digerakkan. Lebih jauh lagi, bahwa karirnya berada di ujung tanduk.
“Saya hanya membayangkan. Jika saya tidak bisa menjadi jurnalis, saya mau apa?” kata Zed. Lalu ia berkisah, bagaimana ia memulai karir jurnalistiknya dari sebuah kota kecil lalu pindah ke Surabaya. Mulai dari Harian Surabaya Post, TEMPO, Media Indonesia Minggu, Detektif dan Romantika, hingga jadi penulis lepas di beberapa media ibu kota.
Zed juga aktif di banyak kegiatan literasi, sebuah gerakan yang pada masa orde baru kerap diberi label pembangkangan. Bersama jurnalis lain, ia menolak organisasi kewartawanan tunggal, lalu ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen.
Semua yang ia lakukan bermuara di impiannya sejak awal. Jadi jurnalis yang baik. Dan gara-gara sakit yang diderita, impian ini pun kandas begitu saja.
Beruntung, Yudiarini Swastiwulan, istrinya, selalu sabar menemani. Alumnus Universitas Brawijaya ini tak pernah berhenti menyemangati. Juga dorongan moral dari keluarga yang lain dan teman-teman Tempo.
Perlahan tapi pasti Zed bangkit. Tiga bulan setelah stroke itu, ia kembali bekerja sebagai editor Tempo.co. “Saya bekerja di rumah, mengetik dengan tangan kanan. Karena tangan kiri masih lumpuh. Bekerja di rumah ini saya jalani sejak terkena stroke, tahun 2009, hingga saya pensiun dari Tempo pada 2016,” jelasnya.
Meski sudah dua tahun pensiun, Zed tetap berdiri dengan atribut jurnalis terhormat bagi banyak orang. Tak hanya di mata sesama wartawan yang pernah bekerja dalam satu atap, tapi juga jurnalis-jurnalis lain ; Zed adalah teladan.
“Ditemani anak dan istri, kami memulai hidup dengan cara berbeda. Soal kangen nulis, saya bisa ngeblog, bisa nulis di Facebook,” kata salah satu pendiri Surabaya Press Club (SPC) ini.
Di luar itu, katanya, ia juga masih leluasa berinteraksi dengan kawan-kawan dekat, termasuk mereka yang dulu berjalan beriring di dunia jurnalistik. “Sebagai pensiunan, kami masih leluasa bicara. Mengenang masa lalu, kemudian bercanda. Rasanya itu sudah cukup,” pungkas Zed. (hdl)