Yang Nemani Ngopi, Sudah Mati
Info Baru Kolom

Yang Nemani Ngopi, Sudah Mati

Biasanya awak saya tidak sendirian ngopi di warung ini, tempat kongkow di bekas wisma lokalisasi Dolly bernama Andromea menjadi jujukan jika pingin ngobrol bareng teman. Jarang banget berasik-asik sendiri di warung yang di lantai dua digunakan sebagai kost”an. Kadang ditemani Teguh dan Iwan kadang bersama para veteran wartawan diantaranya Udin Lotto yang bercerita, dulu tempat ini salah satu wisma terbesar selain Barbara.

“Kalo kemudian Dolly sudah berubah, kita perlu berpartisipasi terhadap peradaban baru yang dibangun,” kataku pada teman” ketika ragu kuajak ngopi di bekas pasar kenikmatan paling populer di Surabaya. Why? Penguasa kota boleh nggedabrus sampe lambéné muruh, bangga bisa menutup lokalisasi, janjinya akan dijadikan ini, itu, ina, inu. Tapi hingga detik ini penduduk setempat bingung memerankan diri di tengah perubahan.

Diantara penghuni ada yang mencoba menjual makanan, jual bakso, warung kopi, servis motor dll. “Kalo kita tidak merespon usaha mereka, kita berdosa lho. Meski bentuk partisipasi kita hanya segelas kopi empat ribu, itu cukup memberi arti bagi mereka untuk merawat semangatnya berusaha,” tuturku pada teman”. Apa mereka apa enggak, nggak masalah, yang penting ngopi bonus wifi.

Tapi yang biasa kuajak ngobrol di warung ini baru saja mati. Sabtu parak siang, akun beberapa teman tertulis: innalillahi … Wadooo, sapa sing mati ya? Ternyata Iwan. Kondisi tubuhnya memang terkena stroke dan pekan awal Maret tiba” pingsan lalu dibawa oleh istrinya yang baru ke RSUD dr. Soetomo Surabaya. Disana dia harus masang tiga ring di jantungnya, beayanya gedhe dan tentu saja membingungkan.

Di tengah kebingungan teman” mengatasi, awak berpesan pada mereka, “Kalo saja di lain waktu saya yang mengalami seperti itu, nggak usah bingung ya. Nggak usah buka dompet dhuafah atau wara-wara konco lara. Saya akan tetap tinggal dirumah, menyiapkan prosesi terakhir lalu wusss. Dadaaaaa… Gitu aja. Eman duwite. Mending digunakan untuk produksi . Yang masih hidup lebih membutuhkan katimbang yang mau mati. Teman-teman misuh mendengar penuturanku. Ojo ngono po’o Wak, medèni aé. Hahahahaha …

Setelah pasang tiga ring, Minggu, 22 Maret pukul 05an pagi, Iwan dikabarkan meninggal. Ibarat hape sedang lowbatt lalu plethes, mati. Jenazahnya dibawa ke kampung ibunya di Pati tapi karena rumahnya barusan dijual konon warga merasa kebingungan menerima.

Bagaimana ini Wak? Sebuah pertanyaan nyamper di hape. Awak tidak menjawab, karena memang tidak punya jawaban meski beberapa bulan silam sempat bareng” ke rumah di Pati. Kenapa kok tidak seperti wasiatnya bahwa Iwan punya kavling di area Sunan Muria yang didagu sebagai moyangnya, tanyaku pada penanya. Ternyata dia juga tidak punya jawaban. Berita selanjutnya, pemakamannya digeser ke Kudus, rumah bapaknya. Sudah beres Wak, sahutnya. Syukurlah.

Setiap ada teman mati yang lain tampak bingung, saya sih santuy aja. Kabar tentang kepulangan tidak selalu ditanggapi dengan ratapan. Biasah sajah. Innalillahi … Semoga dia sukses pada kalimat wa inna ilaihi roji’un … Gitu ajah. Wong segalanya terus berputar, tak pernah ada yang berhenti. Begitu juga hidup, mati, hidup, mati, hidup, mati, hidup …

Kebetulan saya meyakini bahwa manusia kita tidak mengenal kematian, urip tak kena pati. Kematin hanya fase ke kehidupan yang lain dan terus berproses hidup, mati, hidup, mati, hidup, mati … sampai pada suatu ketetapan yang ditentukan oleh Sang Pemilik Prerogratif yang memiliki beribu sebutan unik dan indah.

Ini hari apa? Oh iya, Senin. Baru sehari seseorang dimakamkan, secepat itu orang melupakan. Padahal Iwan termasuk wartawan olahraga yang sukes, usainya sepuluh tahun di bawah saya, pernah meliput di 39 negara dan banyak penghargaan yang diraih. Pernah menikmati hura-hura meski kemudian siklusnya berubah.

Awak saya serasa nonton ludruk, usai satu lakon berganti cerita yang lain. Begitulah kisah seseorang, saat masih hidup kadang merasa sangat berarti tetapi ketika mati, baru sehari, tanah masih basah, orang” sudah lupa bahwa dia pernah bersama. Why?

Catatan : Rokim Dakas
Penulis adalah mantan wartawan Surabaya Post

Loading...

Post Comment

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.