Tetap Optimis Meski Tempo Dibredel
Info Baru Nostalgia

Tetap Optimis Meski Tempo Dibredel

Bagi banyak orang, Zed Abidien adalah jurnalis sejati. Tak hanya karena karya jurnalistiknya yang selalu dipuji, tapi juga kiprahnya di garda depan perjuangan insan pers masa orde baru.

Bersama banyak kawan wartawan, Zed terang-terangan melawan pembredelan TEMPO, Detik, dan Editor. Ia juga aktif dalam gerakan literasi media dan kebebasan pers. Tak heran jika ia jadi dekat dengan banyak mahasiswa, terlebih aktivis pers kampus dari Stikosa-AWS, kampus jurnalistik kelahirannya yang dulu bernama Akademi Wartawan Surabaya (AWS).

Lulus AWS tahun 1980-an, Zed bergabung dengan Harian Surabaya Post dan bertugas di Ngawi dan Jember. “Dulu, sehabis liputan dan wawancara nara sumber, wartawan pulang ke rumah atau tempat kosnya untuk mengetik naskah. Baru beritanya dikirim lewat jasa pos atau telex bila menyangkut berita cepat atau straight news,” kenang Zed.

Kala itu, lanjutnya, wartawan mempunyai kamera atau mesin ketik sendiri. Merek mesin ketik yang terkenal adalah Brother dan Royal.

“Saat aku pindah ke Jember, mesin ketik Brother, yang bentuknya mungil aku bawa serta,” kata jurnalis yang ikut menandatangani Deklarasi Sinargalih, simbol perlawananan wartawan Indonesia di masa pemerintahan Soeharto.

Jadi koresponden Surabaya Post, Zed melewati banyak pengalaman jurnalistik. Salah satunya saat berkenalan dengan amplop.

Waktu itu, bersama seorang teman wartawan, ia bertamu ke rumah seorang pejabat di Pemerintah Kabupaten Ngawi. “Maksudnya ya saling memperkenalkan diri. Kebetulan rumah pejabat tersebut dekat dengan tempat kos saya. Eh, waktu pulang kami diberi amplop dan setelah saya buka amplop tersebut berisi yang Rp 15 ribu,” katanya.

Uang itu setara honor tulisan features di rubrik daerah Surabaya Post. Menerima amplop ini, selama dua minggu Zed merasa gelisah. Sejak saat itu ia menghindar jika diajak bertamu ke rumah pejabat.

“Kecuali kepada pejabat yang sudah saya kenal pribadinya, seperti kepala humas dan seorang jaksa yang berasal dari Bojonegoro, tempat kelahiran saya,” ujarnya.

Di tahun 1980an, secara umum amplop bukan barang tabu di kalangan. Amplop dianggap ucapan terima kasih dari nara sumber kepada wartawan. Atau sebagai bantuan pejabat kepada wartawan yang gajinya kecil.

“Saya sendiri menganggap amplop tradisi kurang baik bagi wartawan. Meski di Surabaya Post tidak ada larangan menerima amplop, saya berusaha menghindari menerima amplop,” tegasnya.

Saat menjadi koresponden Surabaya Post di Ngawi, Zed indekos di sebuah rumah di jalan Karya II. Waktu itu ia menempati sebuah kamar kecil bagian depan, ada jendelanya. Sehingga saat merenung atau mengetik naskah, ia bisa melihat orang lalu lalang di depan rumah.

“Kamar saya terasa lembab karena lantainya berupa tanah. Di kamar tidak ada almari, dan pakaianku aku taruh di kardus yang aku tutupi koran,” terang Zed.

Beberapa wartawan sempat singgah di tempat kosnya. Seperti Muhammad Halwan, wartawan Surabaya Post di Madiun, RM Yunani wartawan Surabaya Post di Lumajang dan Yes Suryaatmaja.

Mereka mampir biasanya saat melakukan liputan bersama. Yunani misalnya, saat dibonceng dengan motor di sebuah jalan di Ngawi, tiba-tiba minta berhenti. Dia rupanya tertarik dengan peternak bebek yang sedang menggiring bebeknya.

Setelah turun dari sepeda motor, kami minta waktu kepada peternak bebek untuk wawancara. Sepekan kemudian, tulisan features tentang bisnis ternak bebek muncul di Surabaya Post. Meski yang menulis Yunani, namaku ada dalam tulisan.

Yunani, lanjut Zed, adalah wartawan senior dan paling produktif di Surabaya Post. “Saya pernah berkunjung ke rumahnya di Lumajang. Rumahnya cukup besar, lokasinya di belakang kantor Kejaksaan Negeri Lumajang,” kata Zed.

Selama berteman dengan Yunani, Zed pernah liputan bersama tiga kali. Di Ngawi, Jember dan Jombang. Di Jember meliput perjudian terselubung pasar malam.

“Saat dimuat di Surabaya Post, beritanya tidak dicantumkan nama kami. Ini memang atas permintaan saya, karena khawatir keselamatan saya,” kenang Zed.

Dari Surabaya Post, Zed kemudian melanjutkan karir di Majalah TEMPO. Di majalah berita mingguan ini Zed memasuki fase dengan tantangan-tantangan baru. Hingga 21 Juni 1994, majalah tempat ia bekerja ini, bersama Tabloid Detik dan Majalah Editor, dibredel pemerintah.

Zed bersama alumnus TEMPO kemudian bekerja di Media Indonesia Minggu, Majalah Detektif dan Romantika, dan Forum Keadilan.

Empat tahun usai pembredelan itu jadi masa sulit bagi Zed Abidien. Apalagi saat dibredel, ia akan menikah tiga bulan kemudian.

“Tapi hidup harus optimis. Setahun setelah TEMPO dibredel, istriku melahirkan anak pertama. Faizal Bintang namanya. Di hadapan orang tua dan mertua, saya tak pernah mengeluhkan kesulitan ekonomi. Saya yakin seyakin-yakinnya, semua kesulitan bisa kami lalui. Dan benar, pada Mei 1998 rejim Soeharto jatuh, dan Tempo bisa terbit kembali,” jelas Zed. (hdl)

Loading...

Post Comment

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.