Sebagai wartawan, M. Anis bukan tipe yang suka mengandalkan keterangan resmi atau siaran pers. Ia lebih suka melihat dan merasakan dari dekat.
“Saya bukan wartawan yang terbiasa asal menulis. Untungnya Ibu Tuti Azis bisa menerima. Saya seminggu bisa tidak masuk, bahkan saat Ramadhan pernah sebulan tidak menulis. Fokus ibadah,” candanya.
Walaupun begitu, Anis menyiapkan amunisi premium untuk karya jurnalistiknya. “Ya terbiasa investigasi. Bukan keterangan pers, bukan asal comot. Semua proses panjang,” ungkapnya.
Semisal, ia pernah menulis skandal instalasi air di Kayoon. Instalasi ini dari pusat, tanpa ijin dari Pemerintah Kota Surabaya. Hasilnya? “Saya dapat liputan khusus di situ. Jadi headline. Dan Surabaya Post jadi koran yang dicari pembaca,” tukasnya.
Investigasi yang dilakukan tentu bukan tanpa resiko. Suatu saat ia juga pernah liputan di Situbondo. Liputannya tidak main-main, berurusan dengan militer. “Ada desa, diapit kawasan latihan tempur. Warga sering mendengar suara tembakan, bahkan ledakan. Saya langsung ke lokasi. Bawa tas kresek berisi kamera dan lensa tele, dan bawa sapi. Pura-pura jadi warga desa,” papar Anis.
Saat liputan khususnya merebak, Anis-pun diburu aparat militer. “Tapi herannya setelah itu kami berteman. Saya ingat, namanya Pak Harto, sudah meninggal,” katanya.
Berjurnalistik, kata Anis, mesti dipahami sebagai proses. Ada keseriusan, kepekaan, ketelatenan, dan masih banyak lagi. “Target kita membuat karya jurnalistik sebaik mungkin. Jika ada honor atau penghargaan, itu bonus saja,” ingat Anis. (hdl)