“Pak, boleh tanya?”
“Mau tanya apa Mas?”
“Bagaimana perenungan Anda tentang surga dan neraka?”
Matahari belum setinggi tombak. Secangkir kopi, rokok kretek n godho goreng menemani kami menyapa Desa Sekarjalak, sebelah Kajen, Desa Pesantren karena terdapat 18 pesantren di kawasan Margoyoso, Pati, Jawa Tengah. Sebuah kawasan pesisir dimana Mbah Mutamaqin menoreh tinta emas atas pengabdiannya mengajar agama di zaman Walisongo.
Sosok yang kutanya tampak menghisap kretek seraya memandang jajaran pohon nyiur sebrang rumahnya. “Surga dan neraka itu hari ini,” tuturnya pelan namun menombak pikiran. Mendengar itu aku menghentikan tanganku yang hendak nyeruput kopi, “bagaimana Pak?”
“Surga dan neraka itu hari ini.”
“Lho … lalu apa artinya janji adanya surga dan neraka kelak pada kehidupan abadi?”
“Bagaimana Anda meyakini?” pertanyaan balik itu membuatkan njingkat karena nggak menemukan jawaban pasti.
“Ya diyakin-yakinkan Pak, wong kalimat kitabnya begitu”
“Itu namanya meyakini sesuatu yang belum jelas. Kalo secara logika nggak masuk akal bisa diartikan fatamorgana..”
“Lha benernya gimana lho Pak?”
“Kalo sampean tidak meneteskan keringat di bumi maka tidak akan menumbuhkan pohon menjulang ke langit.”
Kurenungi kalimat bersayap. “Iya sih, untuk mencapai yang di atas perlu ada pijakan..”
“Nah pijakannya itu hari ini.”
“Maksudnya”
“Kalau sampean hari ini merasa nyaman, bekerja dengan tenang. Sampean tidak gegeran sama bojo karena dicemburui selingkuh. Tidak dimaki-maki tetangga apalagi masyarakat. Bisa memperoleh rezeki bersih, rumah tangga ayem tidak kisruh … Semua tanda² itu menunjukkan suasana surgawi…”
“Jika sebaliké?”
“Jika sejak bangun tidur sudah dicibir banyak orang, tingkahnya membuat masyarakat tidak nyaman. Apalagi didoakan wong sak Endonesa agar masuk penjara. Malah didoakan cepet matèk, itu artinya orang tersebut sedang dalam neraka.”
“Apa arti semua itu?”
“Yaaa bilamana hari ini dalam suasana surga, besok juga begitu, lusa dan seterusnya mampu menciptakan suasana surga hingga titik akhir kehidupan, ya sampean pasti memperoleh surganya Tuhan.”
“Kalo begitu kasihan ya orang yang dihujat banyak orang”
“Yaiyalah … Orang seperti itu, meskipun ngaku beragama, jidhate gosong kayak pantat baboon .. kalo tiap hari dalam suasana neraka hingga nazaknya masih begitu, ya jangan berharap masuk surga. Neraka sudah pasti.”
Aku termangu. Di layar gelas terpampang wajah para pendukung Prabu Bawuk satu persatu dijebloken ke penjara. Matahari serasa bergerak lamban, aku berkata-kata dalam diam, menyerap penuturan sang sufi dengan pikiran benderang tentang surga dan neraka ada di hari ini.
* Serpihan dialog dengan Kiyai Muhammad Zuhri
oleh : Rokim Dakas
* Penulis adalah mantan wartawan Surabaya Post