Jadi wartawan itu ya susah, ya senang. Campur aduk mirip gado-gado. Artinya, walau banyak unsur, hasil akhirnya tetap lezat. Saking lezatnya, kadang sulit untuk dilupakan begitu saja.
Nah, ternyata, ini juga yang dirasakan Teguh Wahyu Utomo, awak redaksi Harian Surabaya Post (SP) tahun 1991-1997. “Jadi wartawan membuat saya bertemu banyak orang. Dunia wartawan juga yang membuka hidup saya,” aku Tom, panggilan akrabnya.
Sebagai awak SP, Tom terkondisi jadi profesional yang mandiri dan militan. “Kalau sore jarang pulang. Pagi hari ngerjain info hari ini, sorenya nyicil buat edisi pagi. Jadi biasa mandi di kantor. Saya sampai bawa sabun dan odol sendiri,” kenangnya.
Sial, suatu hari, ia lupa bawa handuk. Akibatnya Tom mesti mengeringkan badan dengan lembaran koran. “Untung korannya nggak luntur. Eh pernah juga sih, jadi di punggung sempat ada headline,” tawa mantan redaktur halaman depan di Radar Surabaya ini.
Bekerja di Surabaya Post adalah hal yang membanggakan. Tom menilai, SP bukan tempat kerja atau cari duit semata. Kultur yang berkembang saat itu lebih mengarah ke seduluran atau persaudaraan.
Tiap tahun, lanjutnya, awak SP menggelar acara yang melibatkan keluarga. Bisa dibayangkan, betapa ramainya suasana saat itu. “Jumlah karyawannya 300-an. Anak dan suami atau istri jadi saling mengenal. Tapi waktu itu saya masih jomblo,” ujar pria yang kini juga aktif sebagai trainer di Di MEP, Menebar Energi Positif, bersama Yusron Aminulloh.
Surabaya Post, kata Tom lagi, juga bagus di sisi produk. Gaya panulisan dan tampilan perwajahannya mirip Harian KOMPAS. Wartawan juga dibekali corporate culture yang biasa diterapkan dalam cara wawancara, gaya menulis, penampilan, dan lain-lain.
Di masa sekarang, saat industri media bergerak sedemikian bebas, kehadiran media seperti Surabaya Post harusnya bisa jadi alternatif. Bukan media-media asal cepat, tapi ada yang hadir dengan kesantunan, dalam, dan hal-hal lain yang khas di SP.
“Cuman pasar sekarang sudah diwarnai era new media. Ada konvergensi media cetak, elektronik, dan digital. Segmen khusus buat pasar seperti Surabaya Post tempo dulu sudah berat. Kalaupun ingin ada mesti edukasi pasar,” jelasnya. (hdl)