Hernani Sirikit, populer dengan nama Sirikit Syah, adalah perempuan dengan segudang talenta. Jago menulis, baik di bidang jurnalistik maupun sastra, bernyanyi, hingga memainkan gitar.
“Sejak di sekolah dasar saya sudah menulis. Antara lain menjadikan buku tulis sebagai majalah mingguan berisi cerpen, puisi, humor, yang dipinjam-pinjamkan pada teman sekelas. Di SMA buku tulis jadi novel tulisan tangan, dan dibaca gantian sama teman,” kenangnya.
Lahir di Surabaya, Jawa Timur, tahun 1960, Sirikit memang mencintai dunia menulis. Meski di sisi lain, ia juga setia menjaga cita-citanya menjadi guru. Itu yang jadi alasan, ia kemudian memilih kuliah di IKIP Surabaya.
Usai meraih gelar S-1 tahun 1984, ia mulai aktif menjadi reporter dan desk editor di Harian Surabaya Post. “Karena dilamar harian paling bergengsi di Jawa Timur saat itu, lamarannya sulit ditolak. Padahal juga sedang diamar menjadi dosen tetap di IKIP Negeri Surabaya,” akunya.
Saat mahasiswa, pendiri LKM-MediaWatch dan Sirikit School of Writing (SSW) ini aktif menulis. Termasuk membesarkan media kampus GEMA.
“Saya juga banyak menulis resensi setiap habis nonton pertunjukan kesenian atau film, dimuat di koran. Nulis cerpen dan puisi juga. Akhirnya orang media menengarai dan mengincar saya. Baru lulus, belum sempat bawa ijazah melamar dimana-mana, sudah didatangi Surabaya Post dan dilamar,” katanya lagi.
Dihadapkan pada dua pilihan antara menjadi dosen dan menjadi wartawan, Sirikit kemudian memilih untuk jadi wartawan. Tetap dengan alasan sama, karena ia suka menulis dan menuliskan pengalaman. “Dan ingin bergaul dengan banyak macam orang, dan ingin jalan-jalan,” tambahnya.
Bekerja di Surabaya Post, Sirikit mengaku masuk dalam kawah Candra Dimuka. Jika sebelumnya memposisikan menulis sebagai aktivitas suka-suka, bergerak berdasar insting, di Surabaya Post, ia mesti bekerja jadi wartawan beneran. Berhadapan dengan waktu yang terbatas, disiplin, fokus, dan, tentu saja tidak bisa suka-suka.
“Saya banyak digembleng oleh senior-senior yang hampir semuanya alumnus Akademi Wartawan Surabaya (sekarang Stikosa-AWS, red). Alhamdulillah, sekarang saya menjadi bagian dari tim pengajar di Stikosa-AWS,” ungkap Anggota Kehormatan Pusat Hak Asasi Manusia (Pusham) Universitas Surabaya ini.
Di lingkungan kerja itu Sirikit banyak belajar tentang ilmu jurnalistik dan manajemen redaksi. “Di Surabaya Post saya menjadi wartawan budaya, pariwisata, kemudian pendidikan dan pemerintahan. Tak lama kemudian menjadi Redaktur Seni dan Surabaya Post Minggu. Pernah juga Redaktur Internasional,” kata Sirikit.
Sebagai wartawan surat kabar paling berpengaruh di Jawa Timur ini, Sirikit tentu saja melewati banyak pengalaman menarik. Salah satunya, saat meliput latihan di kapal perang Australia. Ia juga bernah mendapat tugas meliput kunjungan Pangeran Charles dan Putri Diana di Yogyakarta, ikut fellowship wartawan ASEAN di Jepang, magang di CNN Washington DC, dan masuk Gedung Putih bahkan Pentagon.
Keluar dari Surabaya Post pada 1990, ia kemudian aktif di SCTV. “Bosan di koran. Dan RCTI sedang cari orang untuk membangun SCTV di Surabaya. Saya melamar dan diterima,” katanya.
“Tapi enam tahun kemudian saya bosan di TV. Karena saya suka menulis dan berita televisi lebih mementingkan visual daripada narasi, saya keluar. Lalu menjadi freelancer di Jakarta Post pada 1996 hingga 2000,” tambahnya. (andre/hdl)