Jadi wartawan dan penulis adalah pilihan. Jikapun karena aktvitas ini kita bisa jalan-jalan ke luar negeri, ini semata hanya imbas dan rentetan penghargaan. Itu pun bukan datang utuh dengan sendirinya, tapi mesti diperjuangkan dengan banyak cara.
“Ketika usia sudah di atas kepala enam, sebagai jurnalis hampir 40 tahun, saya masih tetap bisa produktif menulis. Selain itu, saya masih diizinkan oleh-Nya untuk jalan-jalan menyaksikan keindahan berbagai belahan bumi,” kata Djoko Pitono Hadiputro.
Sejak berkunjung ke Negeri Matahari Terbit selama dua pekan pada 1982, hidup Djoko terasa mimpi. Seperti ada yang menuntun. Kunjungan berikutnya kemudian berturut-turut ke Amerika Serikat, Kerajaan Arab Saudi, Pakistan, Israel, dan juga ke berbagai negara lainnya.
Awal tahun ini ia juga melawat ke Mesir, Maroko, diajak oleh teman kuliahnya yang kini memiliki pondok pesantren besar Amanatul Ummah di Surabaya dan Pacet, yakni Dr KH Asep Saifuddin Chalim, MA.
“Bulan Juli lalu, saya juga berwisata ke Thailand bersama istri saya. Tidak lama lagi, insya Allah, saya juga akan jalan-jalan ke Eropa. Semua catatan perjalanan rencananya akan terbit dalam sebuah buku,” kata Djoko. Buku yang ia maksud adalah ‘Dari Tokyo, New York, Jerusalem, hingga Casablanca’.
Sebagai jurnalis bidang luar negeri, ia juga aktif menjadi penulis, editor buku, dan penerjemah. “Belum banyak sih. Kalau 40 tahun menulis tiap hari bukunya belum 50 judul, bukankah termasuk malas? Yah, setidaknya ada yang heran,” kelakarnya.
Kesempatan menjalajah banyak negara tentu bukan serba serta merta. Djoko mengaku butuh proses panjang. Seperti pengalaman di Jepang, diperoleh karena rekomendasi setelah kinerjanya dinilai bagus.
Ia juga menjalin pertemanan dengan orang-orang asing, termasuk staf di Konsulat dan Kedutaan Besar. “Lewat teman-teman di USIS Surabaya, misalnya, Dutabesar AS John Monjo (1990) mengundang saya dan beberapa teman dari media lain, berkunjung ke Negeri Paman Sam,” kata Djoko.
Berkat Sekretaris Satu Kedubes Kerajaan Arab Saudi di Jakarta, Adnan Baghdadi (sekarang Dubes Saudi di sebuah negara Amerika Latin), ia juga diundang berkunjung di kerajaan tersebut menjelang Perang Teluk 1991. Istilahnya menjadi Tamu Raja.
Di awal 2002, saat mendapat undangan seminar Media Ethics dari Nihon Shimbun Kyokai (NSK), ia terpaksa jualan ensiklopedia untuk dapat membeli tiket ke Tokyo. Surabaya Post yang saat itu dalam kondisi buruk tak mungkin memberikan ongkos perjalanan.
Saat menawarkan ensiklopedia kepada Dahlan Iskan, orang nomor satu di Jawa Pos, ia membayangkan akan membeli dua atau tiga set. “Lumayanlah, pikir saya. Tak tahunya, Pak Bos menatap wajah saya beberapa beberapa detik. Mungkin heran, juga terkejut. Pak Bos pun mengatakan, sudah, tiketnya saya siapkan,” kenang Djoko lagi. (hdl | sumber : mepnews.id)