Di tahun 1980 hingga 1990-an, tercatat menjadi bagian dari tim tangguh Harian Surabaya Post adalah kebanggaan. Tak terkecuali bagi Titik Surya Pamukti, perempuan kelahiran Surabaya, 16 Januari 1966.
Selaras dengan minatnya, di koran sore terbesar ini ia memilih jalur fotografi. “Saya satu-satunya fotografer cewek saat itu di Surabaya,” aku Titik.
Aktif di dunia memotret, Titik dikenal sebagai fotografer tangguh yang kiprahnya cukup diperhitungkan.
Alumnus IKIP Surabaya ini beberapa kali jadi saksi peristiwa penting, baik yang berskala lokal Surabaya hingga yang nasional. Bukan saksi yang suka duduk manis di tepi, ia beberapa kali bahkan beraksi di tempat-tempat yang dekat dengan peristiwa, demi mendapat gambar berkualitas prima.
Saking dekatnya, ia pernah kena pentung aparat polisi saat meliput demo SDSB atau Sumbangan Dana Sosial Berhadiah, program yang diselenggarakan oleh pemerintah di era tahun 1980-an.
“Saya diseret pasukan pengamanan presiden Pak Harto (Soeharto, Presiden RI kedua) saat cari angle foto,” kenang Titik. Meski sakit di saat itu, seiring waktu, ia sadar jika ini adalah risiko profesi. Yang penting, setiap peristiwa bisa dikabarkan pada masyarakat.
Apalagi di koran ini ia bertemu sejumlah orang yang kelak tercatat sebagai panutan banyak jurnalis, tidak hanya di Surabaya, tapi juga di Indonesia. Seperti Zainuddin, Tjuk Swarsono, Zainal Arifin Emka dan masih banyak lagi.
Dari mereka, lanjut Titik, ia bisa belajar banyak tentang dunia jurnalistik. Baik untuk kebutuhan fotografi, atau penulisan berita. “Dari para senior itu saya dapat kritikan tentang tulisan. Dan itu terbawa sampai sekarang,” katanya.
Pengalaman lain saat di Surabaya Post yang terekam di benak Titik adalah saat ia harus disidang para petinggi di redaksi. Di tahun 1990-an itu para wartawati Surabaya Post dilarang keras memakai celana panjang.
“Saya itu dimanfaatkan teman teman wartawan perempuan. Katanya, karena saya fotografer bisa minta seragam bentuk celana panjang. Akibatnya saya pun dipanggil Bu Herman dan pak Bambang Agus (HRD). Saya disidang,” jelasnya.
Saat itu Titik tidak sendirian. Ia disidang bersama Onny Joelyana yang juga ngotot agar peraturan wartawati harus tetap pakai rok saat beraktivitas, bisa dikaji ulang.
Beruntung, akhirnya mereka diizinkan pakai celana panjang. Kecuali tanggal 1 April, harus pakai rok span.
Dari sekian momen yang tak terlupa, di Surabaya Post, ia bertemu dengan seseorang yang kelak merubah hidupnya. Saat itu ia bertemu dengan Kun Haryono, sesama wartawan Surabaya Post.
“Gara-gara sering disuruh liputan bareng, akhirnya ya witing tresna jalaran saka kulina,” candanya.
Entah disengaja entah tidak, saat liputan, Kun selalu tidak pegang kamera. Karena sering bersama ini Titik dan Kun saling jatuh cinta. Hubungan mereka kemudian dicatat Zed Abidien di blog personalnya.
“Mbak Titik Surya Pamukti adalah wartawan Surabaya Post, istri almarhum Kun Haryono, sahabat saya. Titik dan Kun Haryono pernah bekerja sebagai wartawan Surabaya Post. Kun dan Titik kemudian menikah dan keduanya tinggal di Kota Mojokerto seperti saya. Kun pindah ke Mojokerto karena mendapatkan tugas sebagai kepala perwakilan Surabaya Post di Mojokerto. Saya terakhir dengan Kun dan Titik saat saya membezoek Kun di RS Gatoel pada tahun 2007an karena Kun dirawat akibat penyakit jantung yang diidapnya,” tulis Zed.
Setelah resign, Titik sempat vakum tidak bekerja. Baru tahun 2003 sampai sekarang ia aktif menjadi guru sekolah dasar di Mojokerto. “Ajaran wartawan-wartawan senior tentang bagaimana menulis yang baik, termasuk penggunaan tanda baca, jadi bekal berharga yang bisa saya gunakan saat mengajar di sekolah,” pungkasnya. (hdl)