Lulus SMEA Negeri Kediri tahun 1976, Iswati Arifin memilih untuk ikut berbagai kursus. Mulai dari kursus Bahasa Inggris, mengetik, hingga tata buku. Ini dilakukan agar bekalnya mencari kerja bisa lebih kuat.
“Untuk melanjutkan kuliah saya rasa tidak mungkin, ortu nggak mampu. Setelah itu saya mengikuti berbagai kursus utk memperkuat ijazah, untuk bersaing mencari kerja. Karena saya sadar akan kekurangan fisik saya,” jelas perempuan kelahiran Kediri, 23 Desember 1958 ini.
Iswati percaya, sebagai manusia, ia harus memiliki nilai lebih. Tidak semata mengandalkan ijazah formal saja.
Berbekal ijazah sekolah dan sertifikat kursus yang dimiliki, tahun 1977 ia berangkat ke Surabaya untuk cari kerja. Di Kota Pahlawan ini ia numpang di rumah paman yang jebetulan berlangganan Harian Sore Surabaya Post.
“Dari situlah saya mencari lowongan kerja. Di iklan nggak disebutkan perusahaan pencari kerja, hanya disebutkan nomor iklan saja untuk memasukkan lamaran,” kenang Iswati.
Ia mulai memasukkan beberapa lamaran. Dan ternyata, salah satu iklan lowongan berasal dari Surabaya Post sendiri.
“Tahunya saya dapat panggilan tes di kantor Jl Pahlawan. Wawancara dan tes mengetik cepat. Selesai tes saya disuruh menunggu sebentar. Nggak tahunya hasil tes saya diajukan ke Pak Aziz,” katanya.
Hari itu juga ia diminta menghadap ke A. Azis, pendiri koran sore yang terbit perdana pada 1953 ini. Iswati langsung dicecar dengan banyak pertanyaan. Hasilnya? Ia diterima berkerja di Surabaya Post.
Keesokan harinya ia langsung diminta menghadap Sugoto, pimpinan kantor percetakan Surabaya Post di Jl Sikatan. Dari situ Iswati baru tahu, ia akan ditempatkan di bagian setting.
Sebagai orang yang berkutat di dapur pra cetak, karir Iswati ternyata cukup moncer. Dalam beberapa waktu saja, ia sudah dipercaya sebagai penanggung jawab pra cetak di Surabaya Post.
Tentu, capaian ini harus ditebus dengan banyak ujian. Semisal, saat dapat memo spesial dari A. Azis. “Waktu masih awal kerja saya kan ditempatkan di bagian setting dan koreksi. Saya mengoreksi artikel yang penulisnya Bapak Roeslan Abdul Gani, yang terbit setiap Hari Selasa, ingat saya. Ndilalah ada yang salah cetak lolos dari hasil koreksi saya. Setelah terbit ketahuan pak Azis. Langsung dapat memo ‘Setting brengsek’,” jelas Iswati.
Membaca memo ini, ia mengaku tubuhnya langsung gemetar. Maklum, saat itu ia tidak tahu kalau penulis adalah tokoh yang sangat penting.
“Yang kena marah satu bagian. Pak Sugoto bilang, seharusnya yang penting-penting jangan disuruh anak baru yang koreksi,” kenang Iswati lagi. (hdl)
Aku beberapa kali pernah juga diminta koreksi tulisan pak Roeslan Abdul Gani.
Tapi dgn banyak pesan dari Redaksi Opini, mas Tjahyo dan mas Sukemi….
On ..hati hati ya… jangan ini…jangan itu…
Alhamdulillah aman…??