Masuk dalam blacklist rezim orde baru, M. Anis, dipaksa berhadapan dengan kenyataan pahit ; tidak boleh melakukan aktivitas jurnalistik. Anis, bersama 56 orang lainnya, dianggap ‘bersalah’ karena menandatangani Deklarasi Sirnagalih, 24 tahun silam.
“Kawan dari Surabaya ada Zed Abidien, Jalil Hakim, dan Saifullah Yusuf,” kenang Anis. Meski begitu, sanksi ini dilakoni bukannya tanpa perlawanan. Diam-diam, ia tetap aktif berjurnalistik, salah satunya di Harian Memorandum. Di luar itu ia juga tetap aktif melayani diskusi dengan aktifis pers kampus.
Suatu hari di tahun 1995, ia dihubungi almarhum Agil Haji Ali. Tokoh pers Indonesia ini bilang, ia ingin mengajak Anis bergabung kembali di Harian Memo, tentu saja semua dilakukan diam-diam. Anis mengiyakan. Sebelumnya, tahun 1983-1986, ia memang sudah pernah bergabung di Memo.
Penuh semangat ia menyodorkan konsepnya dan disetujui Agil. “Saya bertanggung jawab di halaman belakang Memo. Ada logo, ada konten full politik. Dan dampaknya lumayan waktu itu,” kata inisiator Pasar Seni Lukis Indonesia (PSLI) ini.
Jalan hidup pria yang kini berusia 64 tahun ini sepertinya tak pernah jauh dari dunia jurnalistik. Meski sudah pernah berbisnis, mulai dari pakaian sampai beras, Anis nyatanya tak pernah mampu berbelok ke lain hati. “Saya wartawan, dan selamanya akan jadi wartawan,” katanya.
Tahun 1986, usai mengundurkan diri dari Memo, ia bergabung bersama Harian Sore Surabaya Post. Dalam koran terbesar di Surabaya ini, ia mengekplorasi kemampuan menulisnya. Berinteraksi dengan banyak wartawan hebat, lingkungan, dan tentu saja, tantangan-tantangan baru.
Tujuh tahun kemudian ia meninggalkan Surabaya Post dan bergabung dengan Tabloid Detik. Sayang tabloid ini tak berumur panjang. Bersama TEMPO dan EDITOR, Tabloid Detik dibredel pada 1994.
Memasuki 1995-1996, ia aktif di Tabloid Target, lalu pindah ke Majalah Adil (Grup Republika), dan tahun 1998, mengiringi terbukanya kran kebebasan pers, ia dan Eros Djarot mendirikan Tabloid Detak.
“Ada wacana menggunakan nama Tabloid Detik lagi. Saya bilang, jangan. Karena Tabloid Detik itu monumen. Di Tabloid Detak saya jadi wakil pimpinan redaksi sekaligus redaktur pelaksana. Akhir tahun 1999, saya resign dan mulai aktif melukis,” jelasnya.
Berhenti di dunia menulis politik, Anis sempat meluncurkan Jurnal YKP pada 2002. Tahun 2005-2009, ia bergabung dalam tim web official Susilo Bambang Yudhoyono. Sesudahnya juga dipercaya mengelola media Kemenpora.
“Saya ditelpon Andi Mallarangeng. Saya mau dengan model tiga bulan percobaan. Habis tiga bulan, saya bilang. Kalau mau lanjut, saya minta agar gaji dinaikkan. Dia setuju, gaji naik dua kali lipat,” tawa Anis. Akhir tahun 2014, Anis resign dan fokus pada impian barunya yang sudah digarap sejak 2008, Pasar Seni Lukis Indonesia.
Sambil mengerjakan salah satu event seni rupa terbesar di Indonesia ini, ia gabung di ngopibareng.id sebagai chief operating officer (COO) dan pemimpin redaksi. (hdl)
Keren mas Nanang.
Ditunggu berbaginya di teman2 ExSP loh