Hari ini, 12 Januari, hari lahir Ayahku ; Ruba’i Katjasungkana. Seandainya beliau masih hidup, usianya sekarang menginjak 86 tahun. Ayah telah meninggal dunia pada bulan Agustus 2004, pada usia 72 tahun.
Separuh masa hidupnya dihabiskan dalam dunia tulis-menulis berita, jurnalistik. Jabatan terakhirnya adalah sebagai Pemimpin Redaksi di Harian Sore Surabaya Post.
Ayah penggemar berat musik klasik. Pada tahun 1957, bersama pianis (Alm) Slamet Abdul Sjukur dan The Lan Ing, Ruba’i Katjasungkana mendirikan organisasi musik berbasis komunitas yang bernama Pertemuan Musik Surabaya (PMS). Koleksi kaset musik klasiknya berseri-seri. Mulai dari Bach, Mozart, Beethoven, Schumann, Debussy, Strawinsky, Webern dan lain-lainnya.
Meski pernah menjadi Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jawa Timur, beliau tidak pernah sekalipun memanfaatkan jabatannya itu untuk mengeruk keuntungan dan kekayaan pribadi. Bahkan, seorang Ruba’i pernah diintimidasi dan hampir digebukin oleh para preman penyokong Rezim PWI Harmoko, saat menolak keras pemberian sejumlah uang sogokan (istilah sekarang wartawan amplop) pada saat meliput aktivitas perusahaan tambang emas terbesar dunia di Papua, Freeport.
Ayah gemar membaca buku dan majalah dengan tema apa saja: sejarah, ilmu komunikasi, politik, budaya dan lain-lain, kecuali olah-raga, apalagi sepak bola (dalam hal ini aku berseberangan keras dengannya ?)
Seingatku, Ayah tidak pernah memberi petunjuk atau bersibuk-sibuk memberi arahan pada anak-anaknya; kamu harus begini, kelak kalian harus jadi orang yang begitu dan seterusnya.
Buku-buku yang berjejer di rak ruang tamu dan tengah, ditaruh begitu saja tanpa sedikitpun upaya memprovokasi anak-anaknya agar tertarik membacanya. “Mbok woco syukur, gak mbok woco yo sak karepmu…” mungkin begitu batinnya. Haha…
Ayah memang tidak pernah mendidik anak-anaknya secara langsung. Dibiarkan saja semuanya mengalir, seperti air yang mencari salurannya sendiri.
Kami semua dibiarkan mencari jalannya masing-masing, belajar sendiri dari pengalaman hidup di rumah, sekolah dan lingkungan tempat biasa kami bergaul.
Meski bagitu, setidaknya ada satu hal yang aku belajar banyak dan membekas sekali dari ayahku: pentingnya memegang teguh sebuah prinsip.
Beberapa hal prinsip itu antara lain ditunjukkan dalam kasus Freeport tadi, juga dua contoh kasus di bawah ini:
Pada saat Tragedi 27 Juli 1996, meski tidak pernah ‘berpolitik praktis’, Ayah bersikap tegas: tidak bersetuju terhadap kepemimpinan Suryadi sebagai rezim boneka Suharto di PDI. Itu ditunjukkannya bukan dengan kata-kata, tapi langsung dalam perilaku: menolak menemui tamu, siapa pun dia (tanpa terkecuali, sedekat apa pun hubungan mereka sebelumnya) yang bersekutu dengan Suryadi.
Menjelang aku pergi dari rumah untuk bersembunyi dari kejaran aparat militer, beliau berkata pelan namun tegas: “Kalau Suharto sudah menuduh orang itu komunis atau PKI, dia bisa berbuat apa saja sesukanya. Ini sudah resiko pilihan politikmu, kamu harus hadapi.”
Suatu ketika, Ayah menunjukkan amarahnya, di saat begitu maraknya aksi-aksi kekerasan dari ormas-ormas kepemudaan yang dibiarkan bahkan di-back up oleh aparat kepolisian. Dengan nada keras, beliau katakan: “awas kalau kalian ikut-ikutan organisasi preman macam itu!”
Ayah, terima kasih telah memberi tauladan; memegang teguh prinsip hidup untuk menjadi manusia yang beradab dan berkepribadian.
Tentu saja dengan mengakui berbagai kelemahannya sebagai manusia, tetaplah Ayah is my hero.
Ayah,
Selamat beristirahat dalam damai dan berbahagialah bersama Ibu dan Nenen/Anindito di Sorga.
Catatan : Dandik Adhisura
Penulis adalah putera Ruba’i Katjasungkana