Sejak saat di bangku perkuliahan, Bambang Edi Santosa telah menekuni dunia kepenulisan. Saat itu, beberapa karyanya kerap berlalu lalang di berbagai media cetak, baik harian maupun mingguan.
Menurutnya ada sebuah ruang kosong yang terisi ketika dia menulis. “Dengan menulis artikel dimuat koran ada kepuasan hati tersendiri. Membanggakan,” ungkapnya. Selain memenuhi hasratnya dengan menulis. Bambang juga melakukan hal itu untuk bertahan hidup.
Pertama kali debutnya sebagai wartawan di mulai, ketika Harian Suara Indonesia (SI) terbit di Malang tahun 1981. Bambang melamar, dan diterima sebagai wartawan.
Seiring berjalannya waktu, karena gajinya sebagai wartawan di SI tidak mencukupi kehidupan dan kuliahnya, dia putuskan mencari sambilan sebagai koresponden Harian Pikiran Rakyat. Namun hal ini tentu saja atas persetujuan pimpinan SI saat itu.
Pada tahun 1985, Bambang memutuskan untuk keluar dari SI. Saat itu, Harian Jawa Pos tumbuh dan mulai diperhitungkan di pasar media cetak. Tiga tahun kemudian, Kiprahnya di Harian Pikiran Rakyat-pun berhenti.
Di tahun yang sama, tepatnya Februari 1988, Bambang diterima menjadi wartawan di Harian Sore Surabaya Post. Pengalamannya di beberapa media saat itu jadi sesuatu hal yang cukup diperhitungkan.
Melangkah pasti, Bambang yang juga akrab disapa BES, sesuai inisial tulisannya di Surabaya Post, tahun 1991 ditarik ke Surabaya. Ia diminta menjadi wartawan bidang ekonomi di SP Pusat. Spesialisasinya kala itu bidang ekonomi moneter.
Tahun 2002, Bambang dan teman-temannya berhenti dari Surabaya Post. Karena koran di likuidasi oleh pemilik akibat miss-management.
Tidak mau berhenti di situ, Bambang kemudian menerbitkan media sendiri, bermodal uang patungan dengan teman-temannya. Ia juga sempat bergabung dengan sebuah tabloid mingguan. “Selain untuk bertahan secara ekonomi, ini saya lakukan untuk menjaga sentuhan jurnalistik agar tetap ON,” katanya. (andre/hdl)