Beberapa hari yang lalu para mantan wartawan Kronil Pelajar (Kropel) Surabaya Post, sisipan mingguan Surabaya Post, melakukan reuni. Di sela-sela reuni, ada yang menanyakan, kapan ya Kropel mulai berdiri dan siapa pencetusnya. Eleen Pantouw yang hadir di situ lalu mempertanyakan di grup WhatsApp. Lalu dijawab seadanya oleh Sukemi, salah satu pengasuh Kropel. Ia lebih tahu Deteksi, “Tapi kalau Kropel yang paling tahu Mbak Hana,” kata Sukemi.
Nah, bagaimana sebenarnya cerita soal Kropel yang begitu dahsyat pada jamannya dan telah menjadi ajang pencarian bakat calon-calon penulis muda potensial. Berikut cerita langsung dari Muflihana yang biasa dipanggil Hana Budiono atau Mbak Hana. Berikut penuturannya.
“Saat saya bekerja di Surabaya Post, saya sempat ambil sabatical (cuti tanpa gaji) selama satu tahun. Bulan Juni 1986 – Juni 1987 untuk belajar jurnalistik di St Michael’s College di Kota Winooski, Vermont, Amerika Serikat atas beasiswa dari Rotary Foundation.
Salah satu materi kuliah adalah Community Journalism, yang output-nya berupa pengelolaan koran daerah/district atau tepatnya county newspaper. Saya tertarik dengan format tersebut. Maka ketika kembali ke Surabaya saya diskusikan dengan Mas Imam Pudjiono (alm). Dia lah yang banyak tanya-tanya tentang kuliah saya di Amerika.
Gagasan saya waktu itu, membikin koran per karesidenan (Madiun dan Jember sebagai pilot project) dianggap “nggege mongso” sulit diterima dan diterapkan. Mas Imam menyampaikan kalau ingin berbuat sesuatu coba di Surabaya sendiri saja.
Saya lalu berpikir lagi tentang makna community. Tidak harus bedasarkan daerah atau wilayah (demographic), tapi komunitas berdasarkan usia dan kegiatannya (psychographic). Saya pilih pelajar. Saya ciptakan rubrik/section Kronik Pelajar yg waktu itu saya sebut seperti Student Chronicles. Saya paham pelajar khususnya SMA sudah familiar dengan mading (majalah dinding). Skripsi saya memang tentang peran mading dalam komunikasi antar siswa dan sekolah. Student chronicle sebenarnya menampung kreativitas para pelajar yg aktif menulis di mading.
Setelah saya jabarkan, Mas Imam akhirnya setuju. Awalnya diberi setengah halaman. Mas Imam lah yg lapor ke Bu Toety Azis (pemilik), adanya rubrik baru tersebut dan diizinkan. Rubrik baru tersebut sengaja tidak dimasukkan ke edisi minggu, karena Mas Imam tidak terlibat langsung di edisi minggu dan ini membuat tidak ada protes dari redaktur halaman dan rubrik lainnya.
Awalnya saya isi halaman dengan berita dan wawancara di SMA-SMA top Surabaya. Kompleks Wijaya Kusuma dan Petra. Ketua OSIS dan pengurus mading lah partner saya dalam bekerja.
Selain liputan biasa, Kropel pun memanfaatkan Balai Surabaya Post untuk kegiatan off air-nya. Kropel menyelenggarakan berbagai temu diskusi tentang remaja, pelajar dan pendidikan. Saya ingat saat kita membahas topik “Guru yg baik” di Balai Surabaya Post mengundang Prof Soetandyo dari Unair sebagai pakar, narasumber adalah 3 pelajar yang dengan hebat menyampaikan pendapatnya. Diskusi Ini banyak diperbincangkan di sekolah2 dan sempat diangkat sebagai laporan di majalah Tempo, yang nulis Budiono Darsono dan beberapa reporter Tempo lainnya.
Kropel rutin hadir dengan kontributor pelajar yang cerdas di berbagai SMA berderet antri mengisinya. Target audience telah ter-captured, sebenarnya. Harusnya pihak sales segera beraksi menggaet iklan. Tapi tidak dilakukan. Saya dan mas Imam tidak mungkin bisa bergerak lintas divisi, hanya sebatas redaksi saja.
Sebagai pengelola Kropel saya sering diundang sebagai pembicara, sejajar dengan Kak Seto untuk bincang-bincang tentang remaja dan Pelajar di Surabaya.
Berbarengan dengan saat menghandle kropel, saya aktif sebagai pengurus di Yayasan Indonesia Hijau, yang mendirikan PPLH di Seloliman Trawas. Salah satu kokega di LSM ini, Prijo Soemandojo. Saya ikut bertemu bupati, survey lokasi dan proses pembelian lahan. Dana kami terima dari Pangeran Bernard Belanda.
Saya juga akrab bergaul dengan teman-teman Palang Merah Indonesia, saya pernah menjadi relawan PMI Jatim bertugas saat Gunung Galunggung (Jabar) meletus. Topik tentang Palang Merah Remaja pernah diangkat sebagai topik liputan Kropel. Di sini saya kenal baik Siane Indriani.
Prijo Soemandojo dan Siane Indriani adalah kontributor Surabaya Post Minggu. Karena saya resign dari Surabaya Post bulan Oktober 1988, maka kepada mereka berdua saya serahkan pengelolaan Kropel yang dirintis sejak pertengahan 1987. Itulah catatan kenangan Kropel.” (mf)
Wah aku baru tahu sejarah Kropel setelah SP bubar. Yg jelas jeboln Kropel banyak yang jadi “orang”.
Eh…ketemu Mbak Mufli di sini. Jadi ingat direkrut Mbak Mufli nulis di Kronik Pelajar pas lagi meliput pemeran “Lupus” di Hotel Simpang.