Menjadi Guru Jurnalistik Lintas Generasi
Info Baru Kiprah

Menjadi Guru Jurnalistik Lintas Generasi

Di kampus Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi – Almamater Wartawan Surabaya (Stikosa AWS), nama Zainal Arifin Emka sangat populer di kalangan mahasiswa. Cukup menyebut namanya, mereka langsung semangat bercerita.

“Pak Zainal dosen jurnalistik. Orangnya asyik,” kata mereka. Hal yang sama juga terungkap dari sejumlah kawan eks Harian Surabaya Post. Ada yang menyebut, selain Tjuk Swarsono, Zainal Arifin Emka adalah guru jurnalistik di Surabaya Post.

Sebagai salah satu wartawan senior dengan posisi penting, mulai dari redaktur daerah hingga wakil pimpinan redaksi, Zainal memang dikenal rajin mengingatkan standar baku dalam berjurnalistik. Tentang pentingnya check and recheck, disiplin verifikasi, dan masih banyak lagi.

“Terus terang itu mengalir begitu saja. Saya tidak pernah dengan sengaja mengajari,” katanya. Selaras dengan tugas yang harus dilakoni, Zainal memang bertanggung jawab pada kualitas berita yang dikirim 64 koresponden daerah.

Diakui Zainal, beberapa berita memang perlu banyak koreksi. Terlebih di awal karirnya saat jadi wakil redaktur kota dan daerah di Harian Surabaya Post.

“Saat saya bergabung tahun 1978, pemberitaan daerah lebih banyak diwarnai konten pemerintahan. Ya maklum, saat itu banyak wartawan yang dekat dengan pemerintah daerah,” kenangnya.

Di rapat redaksi dan pada pimpinan Surabaya Post, A. Azis, Zainal kemudian mencoba meyakinkan perlunya memperkuat aspek kontrol sosial di halaman daerah. Meski bukan pekerjaan gampang, saat konten ini menguat, penjualan koran sore ini di daerah meningkat signifikan.

Sukses ini tentu bukan semata karena inisiatif Zainal. Pada exsurabayapost.com pria kelahiran Jember, 18 Januari 1951 ini justru melihat respons wartawan daerah terbukti memberi kontribusi istimewa.

“Tentu saja bukan tanpa resiko. Gara-gara penajaman konten ini ada wartawan kena pukul. Saat itu dia usul berita tentang pengusaha furnitur menggunakan kayu ilegal,” kata Zainal.

Usul kemudian ditolak. Alasannya jelas, tidak mengandung unsur data lengkap, sesuai kaidah jurnalistik yang ideal. Zainal mengingatkan, si wartawan harus menyertakan komentar si pengusaha sebagai bentuk konfirmasi data. Buntutnya, si wartawan malah kena gebuk.

Meski berita kemudian muncul, Zainal mengaku, tiap bertemu si wartawan ia tetap merasa bersalah. Kasus penganiayaan yang terjadi sungguh di luar perkiraannya. Meski sejak awal ia juga sadar, resiko ini tentu sangat mungkin terjadi.

Melengkapi proses penguatan konten di tubuh Surabaya Post, Zainal menilai, sejak awal sebenarnya sudah ada beberapa kultur yang positif. Seperti rapat redaksi pada pagi dan sore hari. Dikatakan Zainal, lewat rapat newsroom ini konten koran dipacu lewat perencanaan dan evaluasi yang matang.

“Dalam rapat kita berdiskusi. Tidak hanya terkait konten sebenarnya. Tapi juga transformasi pengalaman, pemikiran, ide, dan gagasan. Boleh dibilang newsroom Surabaya Post berjalan cukup bagus,” akunya.

Keseriusan awak redaksi kemudian diimbangi Zainal dengan selalu membuat catatan atau koreksi di tiap berita kiriman koresponsen daerah.

“Beberapa waktu lalu saat bongkar dokumen di rumah nemu satu bundel berisi berita kiriman koresponden. Sudah saya coret-coret. Sampai di situ saya juga mikir, saya kok sempat-sempatnya bikin coretan itu,” kata Zainal sambil tersenyum.

Kultur lain yang tumbuh di Surabaya Post, lanjutnya, juga terjadi lewat kompetisi berita terbaik. Tentu saja hal ini jadi ajang kompetisi di internal redaksi. Dampaknya, tiap wartawan terpacu untuk menyughkan karya jurnalistik terbaik.

Zainal ingat, karena prestasi wartawan daerah, A. Azis sampai mau bagi-bagi motor. “Saya sendiri yang bikin daftar wartawan penerima motor itu. Dan gara-gara ini juga banyak wartawan senior yang mengaku iri karena tidak kebagian,” ujar Zainal, disusul tawa lepasnya.

Setelah 23 tahun berproses di salah satu surat kabar terbesar di Surabaya ini, Zainal akhirnya mengundurkan diri. Selain tetap mengajar, ia kemudian bekerja Harian Berita Sore pada 2002 hingga 2004. Ia juga tercatat menjadi konsultan media di Yayasan Dana Sosial Al Falah (YDSF) dan Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi Jawa Timur.

Zainal juga aktif menulis buku. Beberapa yang ditulis antara lain ‘Wartawan juga Bisa Salah’ dan ‘Wartawan Seharusnya Tepercaya’.

Lalu tahun 2007 menjadi Ketua Stikosa AWS. Zainal sebelumnya sudah tercatat sebagai dosen di Stikosa sejak 1995. Selain mengajar di Stikosa AWS hingga sekarang, ia juga pernah mengajar di Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya dan LP3I. “Sekarang hanya di Stikosa AWS,” tegasnya.

Puluhan tahun bergelut di dunia jurnalistik, Zainal Arifin Emka tetap bertahan dengan gaya old fashion journalism. Bukan karena enggan move on ke era digitalisasi media, tapi karena alasan sedehana. Bahwa karya jurnalistik yang baik selalu berpihak pada kebenaran, bukan pada kecepatan penyajian. Verifikasi adalah keharusan, dan ini seringkali butuh waktu.

“Kejujuran harus selalu dikedepankan. Karena lahirnya tulisan yang benar akan membuat pembaca makin pintar,” katanya.

Loading...

Post Comment

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.