Menghadang Hoax Lewat Verifikasi Data
Info Baru News

Menghadang Hoax Lewat Verifikasi Data

Hoax adalah musuh bersama. Belajar dari sejarah, hoax bisa berdampak pada hal yang lebih besar dan merugikan banyak orang.

“Ada banyak contoh. Seperti pada Perang Dunia ke II, Hitler marah, karena mendapat info jika tentara Jerman dihabisi Polandia. Padahal mereka sendiri yang membunuh kawannya,” papar Sapto Anggoro, Pimpinan Redaksi Tirto.ID, di depan peserta Seminar Nasional bertajuk ‘Jurnalisme Data, Garda Terdepan Melawan Hoax’ yang digelar di Self Access Center (SAC) Lt. 3 Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya, Jl. Ahmad Yani 117, Surabaya, Sabtu (22/12/2018).

Mantan wartawan Harian Surabaya Post ini juga memberi contoh, bagaimana hoax jadi pemicu perang Vietnam. “Tahun 1964, ada berita Kapal AS ditembak Vietnam. Maka perang terjadi dan 3 juta orang mati. Tahun 2005, Menhan AS mengakui jika berita
itu palsu,” kata Sapto.

Hoax, lanjut pendiri lembaga monitoring Binokular ini, kemudian berkembang jadi alat politik yang sialnya dinilai cukup efektif. Perkembangannya, termasuk di Indonesia, naik signifikan dari waktu ke waktu.

Meski pmerintah memblokir situs yang dianggap hoax, faktanya, media sosial dan media online tetap memproduksi kabar bohong ini.

Sapto kemudian mengajak peserta merenungi quote Benjamin Disraeli. Disebutkan, ada tiga kebohongan yang kita kenal. Pertama adalah kebohongan itu sendiri. Kedua, kebohongan dan kebohongan yang terjadi terus menerus, dan terakhir, kebohongan yang disertai data statistik.

“Ini kebohongan yang kerap dianggap sebagai sebuah kebenaran. Karena bungkusnya data. Padahal ini jelas sebuah kebohongan,” tandasnya di depan forum yang digagas Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Solidaritas ini.

Dalam kondisi demikian, kata Sapto, media massa wajib mengedepankan aktivitas berjurnalistik yang lebih baik. Yakni mengutamakan verifikasi.

Sapto Anggoro

“Media massa tak bisa jauh dengan urusan kredibilitas. Karena yang membedakan media kredibel dengan media sosial adalah disiplin verifikasi,” kata Sapto. Di sisi lain, publik wajib meningkatkan budaya literasi, mengasah logika, dan menurunkan sikap fanatismenya agar bisa menghasilkan kesimpulan obyektif.

Di forum yang sama, Andreas Harsono, aktivis Human Right Watch juga mengingatkan, bagaimana hoax kerap mempersulit banyak aktivitas, di antaranya kemanusiaan.

Untuk itu, dalam kerangka perlawanan terhadap hoax, media massa perlu kembali pada pemikiran-pemikiran ideal. Termasuk menimbang elemen-elemen jurnalistik Bill Kovach.

“Setidaknya menimbang sisi, bahwa media harus berjuang untuk melakukan verifikasi sebelum menayangkan beritanya. Mulai dari sikap transparan dan jujur, paham urutan nara sumber, dan berpikir terbuka,” jelas jurnalis senior yang pernah aktif di The Jakarta Post ini.

Media massa, lanjutnya, tak perlu berdebat di wilayah absurd. Tapi mengedepankan isu yang standar dan terukur. “Artinya menggunakan parameter yang sudah disepakati internasional,” tegasnya.

Terkait sikap independen media, Andreas mengingatkan, tugas media adalah memberitakan kebenaran. “Bukan berpihak pada kebenaran,” katanya.

Seminar yang dikemas dalam format talkshow ini dipandu moderator Hendro D. laksono, pendiri Klub Jurnalistik. Selain diikuti anggota LPM Solidaritas, forum ini juga dihadiri aktivis pers kampus dari ITS, Stikosa-AWS, dan beberapa kampus lain di Surabaya dan sekitarnya.

Loading...

Post Comment

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.