Memulai Karir dengan Mengandalkan Film Expired
Info Baru Nostalgia

Memulai Karir dengan Mengandalkan Film Expired

Semasa kuliah, Beky Subechi sudah terbiasa mengirim foto ke Harian Sore Surabaya Post. Kebetulan koran ini menyiapkan rubrik ‘Celah Kehidupan’, rubrik khusus foto kiriman pembaca.

“Tahu sendiri lah, jaman kuliah kalau sudah kepepet kayak apa. Kirim foto jadi solusi. Lumayan, per foto dapat Rp 35 ribu,” kenang Beky sambil tertawa lepas. Dari kebiasaan mengirim foto ini ia berkenalan dengan Zainuddin (almarhum).

Sampai suatu saat, ada bedol desa di Surabaya Post. Banyak fotografer dan wartawan koran ini yang pindah ke SCTV. Di antaranya Kokok Soedjatmoko dan Sentot Noerachman. Sebagai pembaca setia, Beky kemudian melihat ada yang janggal di performance foto Surabaya Post. Foto-foto lepas yang biasanya banyak mewarnai halaman koran didominasi foto-foto seremonial.

“Foto-fotonya terbatas. Hanya ada foto karya Mas Dewanto (almarhum Raden Dewanto Nusantoro, SH, red) yang kebanyakan foto acara,” kata Beky lagi. Berbekal pengamatan ini, ia mulai menyiapkan foto-foto baru untuk dikirim ke Surabaya Post.

Karena film foto mahal, ia belanja film expired. Foto-foto ini kemudian dikirim ke redaksi atas nama Gatot Bakti Sosiawan (GBS), redaktur foto saat itu. Ternyata foto ini dimuat. Beky masih ingat, foto pertama yang dimuat adalah pembongkaran di Pradah Kali Kendal, Surabaya.

Hari kedua, Beky mengirim lagi. Kali ini ia beruntung bisa bertemu GBS secara langsung. Setelah mengirim foto ia pulang dan kembali menunggu. Hari ke empat berjalan, Beky diajak bertemu GBS.

“Bek, kalau kamu mau bantu, tiap pagi ke sini bertemu saya,” pesan GBS. Beky langsung merespons semangat, “Iya mas”.

Keesokan harinya, ia datang ke kantor redaksi. Kata GBS kala itu, “Bek, ini space foto aku kosongi. Aku sudah siapkan foto lain. Tapi kalau fotomu bagus, tak muat di sini”.

Beky langsung sadar. Ini tak hanya peluang, tapi sebuah test atau ujian. Yang bikin panik, katanya, space ini untuk foto utama. Sementara foto Beky biasanya hanya muncul di halaman kota. Waktu pun terbatas. Jam 11.00 WIB foto harus masuk. Padahal saat menerima penugasan itu sudah pukul 08.30 WIB.

“Foto apa mas?” tanya Beky. GBS menjawab, “Foto pemasangan pipa gas di kawasan hunian padat”.

“Itu dimana, mas?” tanya Beky lagi. Sambil tersenyum GBS menjawab, “Ya itu tugasmu”. Beky makin panik. Beruntung, GBS ngasih bocoran tipis,” Coba di kawasan Demak atau Dupak”.

“Bocoran tipis. Demak dan Dupak kan luas. Waktu hanya dua setengah jam,” kata Beky, lagi-lagi sambil tertawa. Akhirnya ia berangkat. Udara kota yang panas tak lagi jadi hambatan. Yang jelas, setelah beberapa saat menjelajah kawasan ini ia berhasil menemukan instalasi pipa gas yang dimaksud.

“Langsung saya foto. Saya serahkan Mas GBS. Foto-foto itu dilihat, dibolak-balik. Lalu dia bilang, sana nemuin Mas Dewanto. Saya lega. Apalagi dapat kabar, saya mulai diberi tanggung jawab harian. Dapat pemasukan tetap,” jelasnya.

Hari itu juga, Beky resmi jadi fotografer Surabaya Post. Bangga di dada langsung bergejolak bukan kepalang.

“Ini kebanggan buat saya. Karena saat itu orang tahu, Surabaya Post adalah koran yang sangat terkenal. dan koran ini dikenal sebagai surat kabar yang mencerminkan semangat ideal,” tegasnya.

Indikatornya, kata Beky, sederhana saja. Di berbagai kontes, Surabaya Post sering unggul. Di bangku kuliah, Surabaya Post dan KOMPAS selalu jadi rujukan dosen dan mahasiswa.

Kebanggan itu jadi energi baginya untuk terus berkarya. Saking semangatnya, tak sadar foto Beky jadi sering muncul di Surabaya Post. Honor Beky pun naik. Saking tingginya, honor ‘wartawan argo’ ini mengundang sindiran salah satu redaktur di sana. “Bek, honormu lebih tinggi dari redaktur halaman kota,” katanya sambil tertawa. (hdl)

Loading...

Post Comment

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.