Kepergian Iwan Heriyanto, mantan fotografer Harian Surabaya Post, masih meninggalkan duka. Beberapa kawan tak berhenti membicarakan lelaki pendiam yang ramah senyum ini. Pun Siswo Widodo, temannya sesama fotografer Surabaya Post yang kini aktif di Antara. Di laman facebooknya, wartawan senior di Madiun, Jawa Timur ini menulis panjang untuk Iwan. Dan atas seijin Siswo Widodo, catatan itu direpublish di exsurabayapost.com. Berikut catatannya.
Sekitar 6 bulan lalu, aku melihat status WAmu yang menayangkan video dalam sebuah perjalananmu menggunakan pesawat. Kemudian aku tertarik untuk mengomentari. Katamu, ada proyek di Jakarta yang membuatmu sering melakukan perjalanan ke luar pulau.
Dalam obrolan di WA, Kamu membuatku terpingkal-pingkal. Bisa aja kamu berlagak jengkel padaku. Kamu bilang waktu kita masih bekerja di media yang sama, di kantor kamu sering disindir beberapa redaktur. Kau mengutipnya kurang lebih begini, “Fotomu masih sering kalah dengan Siswo”.
Saya kemudian tanya yang dimaksud kalah itu bagaimana? Kalah yang dimaksudkan redaktur sebagaimana yang kamu kutip adalah dalam hal menggarap tema dan menentukan angle. Sungguh dulu saya sama sekali tidak pernah mendengar masalah itu. Setelah 10 tahun kita berpisah (karena saya pindah media), baru kau ceritakan itu.
Sama-sama berada di dalam grup WA eks Surabaya Post, kita sama-sama jarang ikut meramaikan obrolan. Saya sesekali masih muncul, namun kamu hampir tak pernah. Setahu saya kamu ramah, tapi memang tak banyak bicara.
Sekitar tahun 2006 kamu ingin memotret Telaga Sarangan saat matahari terbit untuk mengikuti lomba karya jurnalistik foto. Waktu itu Pemkab Magetan menggandeng PWI Jawa Timur menggelar lomba karya jurnalistik tulis dan foto. Saya ikut karya tulis, kamu foto. Namun entah, lomba jurnalistik itu mungkin dibatalkan, karena tanpa ada pengumuman pemenang.
Sebelum ke Sarangan, kamu mampir ke tempat tinggal saya di Madiun. Saya senang sekali kau kunjungi. Bukan karena saat itu kamu jadi redaktur fotoku, tapi karena kamu orang yang baik, tidak pernah meremehkan orang lain, ramah, enak diajak ngobrol.
Aku tak ingin kamu bangun terlambat, sehingga kehilangan momentum matahari terbit di Telaga Sarangan. Maka aku tak ingin kamu tidur di rumah almarhum mertuaku tempat saya dan keluarga menumpang tinggal. Dengan senang hati menraktirmu menginap di sebuah hotel di kawasan Sarangan. Itu sekaligus sebagai syukuran saya. Syukur karena baru saja menerima anugerah Piala Prapanca (juara lomba karya tulis jurnalistik PWI Jatim). Piala, piagam penghargaan, dan uang Rp 5 juta, menurutku cukup membanggakan dan harus disyukuri.
Masih ada kenangan lain, Iwan. Pada 2003, kita pernah ronda dua hari di Desa Mojorejo, Kabonsari, Kabupaten Madiun. Menunggu kedatangan sekaligus pemakaman jenazah Faturrahman Al-Ghozi. Kematian Fathur Rahman al-Ghozi (dikabarkan) akibat kontak senjata dengan militer Filipina di Filipina Selatan.
Kamu berangkat dari Surabaya berombongan antara lain bersama Dodohawe Satu (redaktur foto Harian Surya) dan Trisnadi Marjan (kontributor foto AP). Kita merupakan bagian dari puluhan wartawan dari berbagai media tiduran di teras rumah tetangga orangtua Ghozi. Sama sekali tidak bisa sampai tidur nyenyak. Cemas kalau sewaktu-waktu jenazah Ghozi datang. Akhirnya kita banyak ngobrol untuk mengusir rasa ngantuk.
Saya agak lupa kedatangan jenazah pukul berapa. Tapi saat itu kita dalam kondisi ngantuk. Kamu berjuang untuk mendapatkan foto bersaing dengan puluhan jurnalis foto dan jurnalis televisi.
Pagi harinya setelah kau selesai memilih dan mengedit foto menggunakan laptop, kamu dan salah seorang kontributor kantor berita asing kebingungan cara mengirim foto. Karena (seingatku) di desa itu belum ada fasilitas internet.
Sedangkan untuk mencari warnet harus ke kota. Akhirnya saya menawarkan diri untuk mengirimkan fotomu dan teman kontributor kantor berita asing. Karena saya memang harus pulang juga untuk menggarap berita dan mengirimnya ke redaksi. Di rumah, saya berlangganan TelkomNet Instan.
Saya segera meluncur pulang. Karena setelah menggarap dan mengirim berita, serta mengirim foto-fotomu saya harus segera kembali lagi untuk meliput pemakaman Al-Gozi. Jarak dari rumah ke rumah Al-Ghozi sekitar 25 km, butuh waktu sekitar 30 menit.
Setelah meliput pemakaman jenazah Al-Ghozi, saya tawari mampir ke rumah, kamu tak mau. Dengan alasan terikat rombongan.
Sekitar 6 bulan lalu, kita ngobrol agak lama setelah bertahun-tahun kita tidak berkomunikasi. Ternyata itu obrolan terakhir kita.
Selamat jalan Iwan Heriyanto. Semoga Allah menerima semua amal ibadah dan mengampuni semua dosamu. Amin.
foto : fb iwan heriyanto