Mas Iwan. Aku selalu memanggilnya begitu, untuk Hadi Wirawan, lelaki asli Pati, senior sekaligus mentor, yang menjadi salah satu bagian jalan hidupku.
Banyak orang, yang sesama ex Surabaya Post, ex-Jawa Pos angkatan 90-an, dan beberapa yang kenal Mas Iwan dan kenal diriku, menganggap kami bagai sebuah koin bolak-balik yang tak bisa dipisahkan. Aku diposisikan adiknya. Banyak yang tanya, “gimana kabarnya cacakkmu, piye kabar dulur situk iku…” Pasti yang dimaksud adalah Mas Iwan, alias hdw (hadewe).
Semua sebutan itu, tak ada yang aku tolak. Untuk lelaki yang satu ini, aku memang memilih untuk tidak membantah, hampir semua hal yang dia minta akan akan kuturuti, sampai hari akhir. Bahkan, ketika membuka Padepokan ASA di Wedomartani, Jogja pada 2014, mas Iwan dan istri adalah tamu kehormatanku, yang kuundang khusus dari Pati sampai Jogja dan kuinapkan di hotal tengah kota kawasan Malioboro selama 3 hari, sesuai keinginannya, beserta kendaraan plus sopir untuk melayani kemana mas Iwan mau pergi menikmati Jogja. Bahkan Mas Iwan kuminta bicara di depan, di dalam diskusi panel, untuk menyampaikan testimoni tentang diriku, serta review bukuku Mantra Justru.
“Kamu ternyata gaya tulisanmu tidak menjadi seperti aku, tidak seperti Mas Zaim, tapi cenderung mirip Mas Dul,” begitu penilaiannya tentang gaya tulisan dan konten analisis dari buku yang berisi semangat entrepreneur yang beyond dari model buku inspirasi dan manajemen. Komentar itu kuterima dengan ikhlas. Mas Zaim adalah Zaim Uchrowi penulis andal rubrik Selingan Tempo yang pernah jadi bosku di Berita Buana dan Republika, yang menulisnya naratif dan pada bagian-bagian tertentu memberi kejutan kata yang terpilih (kredo). Sementara mas Dul (Abdul Rahman) juga bosku dari SWA dan Detikcom yang gaya tulisannya sederhana, tidak meledak-ledak, tapi datanya kuat dengan literasi yang “basah”. Sedangkan gaya Mas Iwan, meledak-ledak, pilihan katanya menarik, kredonya deras, penuh dramatisasi, membuat tulisan jadi menarik, enak dibaca, menggoncang emosi. Mas Iwan, karena itu, cukup disegani bahasanya oleh kawan-kawan di Surabaya Post khususnya, dan dunia kewartawanan Jatim pada umumnya di era 1990-an.
Mas Iwan, bagaimanapun, sangat berarti bagiku. Tidak ada proses yang personal sebenarnya, tapi fully profesional. Setelah keluar dari tempat kerja sebagai tukang cuci cetak foto, aku mengisi waktu di luar jam kuliah di Stikosa-AWS, dengan menjadi penulis free-lance. Menulis untuk Surabaya Post, Liberty, Surya, Jawa Post, Wawasan Semarang. Sebenarnya aku sering menulis soal budaya, masalah kota, dan film. Suatu hari mendapat info bahwa Surabaya Post membutuhkan wartawan olahraga, aku banyak menulis artikel olahraga ke Surabaya Post. Beberapa kali artikelku dimuat, maka redaktur Surabaya Post bidang olahraga Ichwan Hadi memanggilku dan menawarinya sebagai wartawan olahraga.
Setelah aku terima dan bekerja sebagai wartawan Surabaya Post untuk liputan olahraga, di situlah aku berkolaborasi dengan Mas Iwan. Saat itu, posisi Mas Iwan adalah asisten redaktur (editor) dan pemegang halaman olahraga edisi minggu. Artikel-artikelku, kalau sudah disentuk Mas Iwan, banyak jadi pembicaraan orang, karena idiom, kredo, dan dramatisasi meski banyak yang cenderung hiperbola, disukai pembaca. Otomatis aku yang dapat kredit, meski sebenarnya pilihan kata itu sentuhan Mas Iwan.
Kalau ingat kata “rambut gimbal udang” untuk menyebut rambut pesepakbola Ruud Gullit, atau “merumput” untuk bermain bola, pemain “trengginas” untuk menggambarkan energetik, adalah sebagian kecil pilihan kata yang sampai sekarang masih dipakai media. Itulah kredo-kredo Mas Iwan kala berkarya. Beberapa kali wartawan BB mendapatkan penghargaan, pialanya langsung dikasihkan Mas Iwan. “Wong tulisan softbal aku cuma data dan angka kok jadi bagus begitu, aku malu mendapat hadiah,” kata Pak Hardo — wartawan lawas BB suatu kali.
Dengan kosa kata yang kaya dan gaya bahasa yang lincah, mau tidak mau aku menyesuaikan dengan gaya bahasa editorku, dengan mengambil metafora-metafora yang awalnya aku agak geli-geli gimana gitu, tapi beberapa kali menulis, justru Mas Iwan suka dengan tulisan-tulisanku. “Hebat kowe Nak Tooo, dahsyat kowe Nak Too” katanya seringkali kala aku sehabis menyerahkan naskah. Nak Too adalah panggilan Mas Iwan padaku. Bahkan, dalam beberapa kesempatan, kalau waktu sudah mepet, dia cuma lihat judul dan alenia pertama, sudah langsung tulisan aku dibilang sip, press-klaar, langsung disuruh kirim ke bagian setting untuk diterbitkan.
Lantaran aku dianggap bisa menuruti gaya bahasa Mas Iwan, maka ketika dia mendapat kesempatan membangun kembali media Berita Buana wajah baru yang dimotori Budiono Darsono, Abdul Rahman, Zaim Uchrowi, Suhardjo, dan disponsori Soetrisno Bachir (konglomerat Ika Muda Grup yang kini aktif di PAN), maka Mas Iwan mengajak aku bergabung ke Jakarta.
Mas Iwan sebagai redaktur olahraga dan aku asistennya meski jenjangnya masih reporter. Di sini bergabung dua kultur dan budaya, yakni anak muda (saat itu aku 24 tahun) dan generasi tua yang dari Berita Buana lama. Banyak bahasa dari BB lama yang tulisannya kurang OK, dan Mas Iwan selalu memintaku untuk mengeditnya lebih dulu. Sayang, kemudian Mas Iwan meninggalkan BB dan aku ketika kondisi keuangan memburuk gegara waktu itu ada kebijakan uang ketat Menteri Sumarlin sehingga Mas Soetrisno Bachir yang mengandalkan dana operasional dari bank, pusing tak mampu membayar kami. Mas Iwan pindah membangun Kompetisi di Surabaya, yang masuk grup Jawa Pos. BB tak lama kemudian kembali ke pemilik lama, aku tidak bergabung dan memilih nganggur.
Pada saat menganggur, aku tetap mengurusi korespondensi dengan panitia Piala Eropa 1992 Swedia. Akhirnya aku dapat ID-Card yang kemudian dipakai Mas Iwan ke Swedia meliput untuk Kompetisi, karena aku sedang menganggur tak punya media. Alhamdulillah, Kompetisi banyak memberi honor ke aku, di saat menganggur berkat kepercayaan Mas Iwan pada tulisan-tulisanku. Sebenarnya aku diajak gabung, tapi tidak cocok gajinya.
Ketika aku di Republika, Mas Iwan entah ke mana tak banyak berhubungan dengan aku. Tampaknya sudah asyik dengan Libero milik Timsco. Ketika aku di detikcom, beberapa kali kontak minta nomor nara sumber politik, ternyata Mas Iwan sedang di tabloid Nasional Demokrat. Setelah itu entah kemana, tiba-tiba suatu sore aku mendapat telepon dari Mas Budiono, katanya aku dicari kakaknya. Ternyata yang dimaksud Mas Iwan sedang ke kantor detikcom di Buncit bermaksud silaturahmi dan pamer bawa mobil Honda Odissey Absolut yang keren.
“Kowe arep tak pameri malah lungo,” kata dia.
“Opo mobilmu saiki?” tanyanya…
”X-Trail,” jawabku.
“Wah hebat kowe,” tukasnya.
“Mobil kantor kok mas,” ujarku merendah.
“Woooh…podo hahahaa” tawanya lepas.
Saat itu Mas Iwan aktif di ICMI dan mengelola Natuna TV.
Lama tak muncul, tetiba dia kirim sms, aku tak tahu dari siapa, nomornya tak dikenal, dia butuh sesuatu. Ketika ditanya, siapa ini, dengan marah-marah dia lalu menulis sms panjang lebar bahwa dia-lah yang mengantarkan aku ke Jakarta, meyakinkan dan menjaminkan dirinya ke banyak pihak atas diriku. “Iya mas, maaf mas, aku ndak tahu, karena sms nggak ada suaranya, maaf ya mas….” Begitu aku, selalu memposisikan, tak mau berselisih.
Lalu, ketika aku mendirikan merdeka-com dan tirto-ID, Mas Iwan rajin mengikutiku, kadang memuji dan beberapa kali mengkritik, tapi ketika dijelaskan, maka akan memuji: hehehe bener kowe Nak Toooo. Selain memanggil Nak Too kadang dia memanggilku anake “paklik PM” karena dia tahu ayah aku adalah komandan CPM. Di saat-saat itu, kondisi Mas Iwan juga sudah drop, karena dua kali kena stroke.
Di saat kesehatan yang lemah itu, dia selalu berupaya untuk tetap bertahan hidup, semangatnya tinggi, terapi macam-macam, termasuk beberapa bulan di Ciwidey, membangun rumah panggung dan kemudian membuatnya sehat. Beberapa lama setelahnya, Mas Iwan menyampaikan kalau hidup di Pati, Jateng, tempat lahirnya. Lalu kabar terakhir tinggal di Surabaya dan menikah untuk lagi. Anak-anaknya dari istri pertama, Liza tampaknya sukses-sukses, infonya pada hidup di luar negeri, Jerman sama Amerika, ceritanya begitu. Aku tak tahu pasti, karena sama aku hampir tak pernah bicara keluarga.
Tapi, hari itu, 22 Maret 2020 pagi, tiba-tiba aku tersentak, kaget, melow, karena merasa kehilangan mentor yang tak pernah menyalahkan aku langsung, paling hanya : wocoen tulisanmu (baca tulisan kamu) yang sudah dieditnya. Ada rasa kehilangan, ada rasa kasihan, ya kadang agak jengkel juga tapi mikul duwur mendem jero. Mas Iwan meninggal setelah operasi pasang ring untuk jantungnya. Kondisinya terus drop sebelum akhirnya meninggal. Sayang sedang ramai wabah corona, sehingga saya tak bisa mengantarkannya ke peristirahatan terakhir.
Bagaimanapun, sejak awal, kalau dengan Mas Iwan, aku sudah meniatkan diri untuk mengambil posisi nurut. Dikapak-kapakno dekne pembimbingku.
Satu kutipan yang sering dia bilang ke banyak orang tentang aku: My best cadre in the world!
Suwun Mas Iwan. Semoga sampeyan damai di sana.
Catatan : Sapto Anggoro
Penulis adalah mantan wartawan Surabaya Post
Deskripsi yg cukup detil menunjukkan betapa kadar persahabatan dan persaudaraan yg kuat di anatara penulis dan yg ditulis. Moga menginspirasi