Saya bergabung dengan harian sore Surabaya Post pada tahun 1985. Saya bergabung dengan Surabaya Post lewat perantaraan Budiono Darsono, koresponden Surabaya Post di Bojonegoro. Saya menjadi koresponden Surabaya Post di Kabupaten Ngawi, daerah Jawa Timur yang berbatasan Kabupaten Bojonegoro, Madiun, Magetan dan Sragen, Jawa Tengah.
Harian Surabaya Post didirikan oleh pasangan Abdul Azis – Toety Azis pada tahun 1953. Koran Surabaya Post salah satu koran perjuangan karena didirikan 12 tahun setelah kemerdekaan. Koran ini mengalami puncak kejayaannya di tahun 70an hingga tahun 80an. Di masa itu, koran tersebut mempunyai mesin cetak yang modern, bisa membangun gedung bertingkat dan mempunyai gedung perpustakaan yang megah di jalan Panglima Sudirman dan di jalan Taman Ade Irma Nasution. Sebuah kawasan di jantung kota Surabaya.
Saat bergabung di Surabaya Post saya tidak bertanya berapa honor atau gaji yang saya terima. Saya tahu penghasilan koresponden Surabaya Post berdasarkan honor tulisan yang dibuat wartawan. Makin banyak berita yang dimuat, makin banyak honornya. Budiono Darsono saya lihat sebagai koresponden yang makmur. Setidaknya dia sudah punya sepeda motor sendiri. Di kamarnya banyak buku-buku bagus. Dia juga sering mentraktir saya kalau sedang liputan.
Surabaya Post mempunyai koresponden di hampir semua kabupaten di Jawa Timur. Di Madiun, ada tiga koresponden, yaitu Muhammad Halwan, Eddy S Soepadmo dan Sudarno. Di Magetan ada Tandjung Suparnadi. Di Lumajang ada RM Yunani (alm). Di Kediri ada Moh Anis. Di Pasuruan ada Musyawir (Pasuruan). Di Madura ada Zaenal Lenon. Di Tuban ada Bambang Soen. Di Tulungagung ada N. Daroini.
Yang unik, dalam satu kota ada lebih dari satu koresponden, antara lainnya Madiun dan di Kota Jember. Di Jember ada empat orang korespinden, yakni Umar BSA, Mujiono, Essa Gani dan Achmad Effendi. Di Banyuwangi ada Pomo S. Martadi.
Ada dua generasi di jajaran koresponden Surabaya Post. Yaitu generasi tua dan generasi muda. Koresponden generasi tua antara lainnya Umar BSA (Jember) dan M. Chosin (Bojonegoro) dan generasi muda antara lainnya Budiono Darsono, Bambang Soen, Muhammad Halwan, Moh Anis, Musyawir (alm) dan saya sendiri.
Perekrutan koresponden muda ini dimaksudkan untuk menggantikan koresponden generasi lama. Dulu, sejumlah koresponden generasi lama bekerja sebagai sambilan saja. Mereka ada yang bekerja sebagai humas pemda, ada yang jadi pedagang kayu dan ada yang jadi pegawai di Departemen Agama. Perekrutan koresponden baru ini, mengutip buku Tajuk-Tajuk Dalam Terik Matahari, untuk mengimbangi penetrasi koran Jawa Pos yang pada tahun 1982 dikelola oleh manajemen baru dari PT Grafiti Pers, penerbit majalah Tempo.
Tak hanya merekrut tenaga baru. Setelah mendirikan kantor perwakilan di Jakarta, Surabaya Post juga mendirikan kantor perwakilan di Kota Malang. Belakangan, setelah saya meninggalkan Surabaya Post pada tahun 1987, Surabaya Post lebih agresif lagi dengan mendirikan kantor perwakilan di Gresik, Mojokerto, Madiun dan lainnya. Tetapi langkah ini tak banyak menolong Surabaya Post dari ambang kehancuran. Pada tahun 2002, harian Surabaya benar-benar tutup untuk selama-lamanya.
Meskipun saya hanya sebentar di Surabaya Post, saya mempunyai banyak kenangan manis di koran ini. Dulu, para koresponden muda bersaing untuk membuat berita yang paling bagus. Mereka bersaing dengan wartawan Jawa Pos atau dengan rekan-rekannya sendiri.
Salah satu ukuran prestasi dari persaingan (yang sehat) apabila wartawan bisa membuat berita yang nenarik. Bisa disebut menarik jika berita tersebut dimuat di halaman pertama atau dimuat sebagai berita headline di halaman daerah. Koresponden Surabaya Post yang paling produktif membuat berita hanya beberapa orang saja, antara lainnya RM Yunani, Moh Anis dan Budiono Darsono. Dari segi produktifitas, saya masuk golongan koresponden ‘kelas dua’. Penghasilan saya sebagai wartawan tak sampai Rp 500 ribu, itu hanya cukup untuk beaya indekos dan beli bensin untuk reporting.
Tetapi saya menyenangi pekerjaan ini. Di Surabaya Post saya mengenal wartawan dengan kepribadian unik. Saya pernah bertandang ke rumah Achmad Effendi di Kalisat, Jember. Achmad Effendi umurnya lebih tua 15 tahun dari saya. Dia juga seorang pelukis. Mungkin karena istrinya seorang guru, dia tak terlalu ‘ngaya’ mencari berita. Saya pernah menginap di rumah Pak Effendi. Saya disuguhi makan nasi jagung dengan lalapan sayur sawi, lauk ikan asin serta sambal terasi. Kehidupan yang bersahaja dari wartawan daerah.
Kenangan lain di Surabaya Post, tulisan saya tentang kekeringan di Pacitan dan Wonogiri pernah dimuat di halaman pertama, dua hari berturut-turut.
Di Surabaya Post saya juga belajar tentang keseimbangan berita. Orang lain, yang kita anggap ‘bersalah’ harus kita beri ruang untuk berbicara, untuk membela diri.
Keterangan foto : Saya bersama Achmad Effendy, koresponden Surabaya Post di Jember.
oleh : Zed Abidien
* Penulis adalah mantan wartawan Surabaya Post