Kenangan Langganan Surabaya Post
Info Baru Nostalgia

Kenangan Langganan Surabaya Post

Saat muda saya tinggal di Desa Padangan, sebuah desa yang sekaligus ibu kota kecamatan di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Lokasinya berbatasan dengan Cepu, Jawa Tengah. Desa saya dekat Bengawan Solo. Di daerah saya sudah ada kantor posnya. Dulu kantor posnya ikut Cepu. Kalau mengantar surat petugas pos naik sepeda onthel, melewati jembatan Bengawan Solo.

Keluarga saya keluarga pedagang. Tetapi suka membaca. Dulu kakak saya berlangganan harian ‘Abadi’, koran yang berafiliasi dengan partai Masyumi, partai Islam terbesar di tahun 50-60an. Saat SMP, keluargaku berlangganan majalah Panji Masyarakat, majalahnya orang Muhammadiyah. Setelah saya mahasiswa harian Abadi sudah tutup, sedang Panji Masyarakat mati suri. Karena itu saya berlangganan koran Surabaya Post via pos. Korannya dikirim dari Surabaya lewat jasa PT Pos Indonedia.

Koran baru tiba di rumah tiga hari kemudian. Saat datang korannya dilipat dan diberi pengikat dari kertas yang tertera nama dan alamat saya. Meski terlambat 3 hari tidak masalah. Informasi di koran untuk melengkapi berita di TVRI, yang terkenal dengan acara Dunia Dalam Beritanya. Bagi keluarga kami, berita politik tidak terlalu menjadi perhatian. Mungkin ini dampak dari keberhasilan ‘depolitisasi’ rakyat yang dilakukan oleh pemerintah Soeharto. Partai politik hanya 3 biji (Golkar, PPP dan PDI) tetapi harus seirama dengan pemerintah dan Golkar. Rubrik yang paling saya senangi di Surabaya Post adalah rubrik berita daerah, internasional dan komik strip spiderman.

Kedatangan Surabaya Post yang diantar oleh Pak Pos menjadi kenangan indah bagi saya. Usai berdagang, biasanya ayah saya duduk di lantai, dekat pintu rumah tengah sambil membaca Surabaya Post. Duduk di dekat pintu agar banyak mendapatkan cahaya matahari. Ayah saya berpendidikan SD tetapi hanya sampai kelas tiga. Kegemaran membaca ayah saya itu menular kepada saya. Sedang ibu saya tidak membaca koran karena ibuku tidak pernah sekolah. Tetapi ibu pandai membaca tulisan Arab. Juga pandai berhitung, belajar secara otodidak. Mungkin karena ibu juga seorang pedagang.

Saya lupa berapa lama saya berlangganan Surabaya Post. Saya pernah tidak membayar langganan untuk beberapa bulan. Biasanya uang langganan saya kirim via wesel. Meski tidak membayar, tetap saja saya masih dikirimi koran. Baru sekitar 3 bulan, kiriman koran dihentikan. Tidak ada yang menagih ke rumah saya. Setelah muncul Jawa Pos dengan manajemen baru — dipimpin oleh Dahlan Iskan mantan wartawan Tempo — keluarga saya berlangganan Jawa Pos. Manajemen koran ini sangat agresif. Hampir semua ibukota kecamatan di Jawa Timur ada agen koran Jawa Pos.

Dulu warga Padangan kalau berlangganan koran harus daftar ke agen koran di Cepu. Agen koran di Cepu dulu hanya satu orang. Rumahnya di Balun, dekat stasiun Cepu. Pelanggannya paling banyak adalah pelanggan koran Suara Merdeka yang kantor pusatnya ada di Semarang.

Harian Surabaya Post tidak bisa menembus pasar di Cepu. Di tahun 50an hingga 80an, pasar koran di Indonesia dikuasai oleh korah ‘wali sanga’, yaitu 9 koran daerah yang terbit setelah kemerdekaan RI. Istilah koran ‘wali sanga’ berasal dari Cristianto Wibisono, pengamat bisnis. Di Jawa, koran wali sanga adalah Surabaya Post (Surabaya), Suara Merdeka (Semarang), Kedaulatan Rakyat (Yogyakarta) dan Pikiran Rakyat (Bandung). Tetapi setelah kedatangan Jawa Pos, masa kejayaan koran wali sanga ini mulai surut. Bahkan koran Surabaya Post pada tahun 2002 tutup selama-lamanya.

Catatan : Zed Abidien
Penulis adalah mantan wartawan Surabaya Post, kini tinggal di Mojokerto

Loading...

Post Comment

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.