Mengenakan hem merah muda dan kopiah hitam, Iwan Hadi Wirawan melangkah perlahan ke kasir sebuah mini market di Jl Diponegoro, Surabaya. Sejurus kemudian berbalik ke kursi cafe, membawa sebungkus rokok.
“Kondisi saya sudah jauh lebih baik. Beberapa waktu lalu tidak seperti ini,” akunya, didampingi Rokim Dakas, sejawat lamanya sejak awal bergabung di Surabaya Post.
Tahun 2014 ia menderita stroke. Saat itu Iwan, panggilan akrabnya, sedang di rumah sendiri. Tiba-tiba terjatuh dan tak mampu menggerakkan tubuhnya.
“Saya koma enam hari di rumah, di Pati, Jawa Tengah,” akunya. Masih beruntung, tetangganya yang mulai curiga berinisiatif mendobrak pintu rumah. Begitu masuk, mereka melihat tubuh Iwan tergeletak tak sadarkan diri. Mereka langsung membawa Iwan ke rumah sakit.
Selama koma Iwan merasa sempat terbangun dan ada di sebuah tempat. Taman dengan bunga dan hamparan rumput hijau, anak-anak berlarian, lengkap dengan angin yang bertiup perlahan.
“Saya bingung, saya dimana?” katanya lagi. Lalu datang nenek Iwan yang sebenarnya sudah meninggal beberapa tahun silam. Ia berjalan mendekat, lalu mengingatkan jika seharusnya Iwan belum waktunya datang ke situ.
Iwan terhenyak dan mulai sadarkan diri. Saat membuka mata, ia melihat kamar rumah sakit lengkap dengan infus dan berbagai alat pendukung.
Setelah membaik, ia baru tahu jika dirinya sudah koma, lalu dibawa tetangganya ke rumah sakit. Selama di Pati dia suka jalan kaki menyusuri kampung. Mungkin gara-gara tak muncul beberapa hari akhirnya ada yang curiga, lalu datang ke rumahnya.
“Saya berpikir bahwa ini keajaiban. Enam hari koma dan tidak makan, tapi saya masih hidup,” ujar Iwan.
Setelah membaik, ia menyadari jika hidupnya sudah sama sekali berubah. Tangan kirinya lumpuh tak bisa digerakkan lagi. Atas petunjuk seorang kawan, usai pulang dari rumah sakit ia pergi ke Jombang untuk bertemu seorang kyai.
“Ada obrolan yang menarik saat itu. Katanya, saya bisa saja sembuh. Tapi semua kesalahan di masa lalu harus ditebus di akhirat. Sementara jika sakit, saya menebus dosa di dunia,” kenangnya.
Iwan paham, ini cara Tuhan untuk mengingatkan. Lalu ia pun bercerita panjang tentang hidupnya di masa lalu. Saat segala sesuatunya mungkin, saat hal-hal keliru justru dilakoni dengan sadar. “Dosa saya banyak,” kata lirih.
Di tengah kondisi seperti ini, pria yang sempat mengenyam pendidikan di Akademi Wartawan Surabaya (AWS) ini kemudian belajar banyak tentang nilai-nilai hidup. Lebih mendekatkan diri pada Sang Pencipta, sesuatu hal yang di banyak waktunya justru terlupakan begitu saja. Tenggelam atas nama kesibukan, kejayaan, dan alasan-alasan lain.
“Tapi anehnya pas lumpuh gini saya malah bertemu istri. Saya nikah sampai tiga kali,” candanya. Sebelum itu Iwan pernah menikah dan memiliki dua anak. “Kami berpisah. Jadi istri saya hanya satu. Menikahnya saja yang empat kali,” katanya buru-buru.
Iwan kemudian mencoba survive dengan menulis. Tapi produktifitasnya tentu tak lagi seperti dulu. Sehingga saat dapat honor, ia sadar jika ini hanya muncul karena rasa iba dari kenalan.
“Banyak kawan masih suka membantu. Saya ditransfer duit. Dan ini meringankan hidup saya yang benar-benar zero income,” tegasnya. Untuk itu ia sangat berterima kasih pada beberapa kenalan, khususnya mereka yang dulu pernah bekerja dalam satu tim di Surabaya Post. (hdl)
1 Komentar
Pingback: Hadi Wirawan dan Impian Kecil di Penghujung Perjalanan | exsurabayapost.com