Mengapa kaum borjuis tidak lagi tertarik membeli karya perupa Indonesia?
Saya dicolek sama Mr. Jack serasa menjawil agar urun opini bersama orang² besar di jagat senirupa. Dan apa yg saya sampaikan moga² salah. Why? Karena saya belum pernah melihat pameran² besar di banyak tempat. Yg saya lihat hanya pameran di “balai RW” desa kecil, Surobajul. Lalu mengamati katalog pameran di berbagai negara serta menyimak lukisan di galeri virtual.
Di desa kecil itu saya berteman dengan perupa² yg saya harap bisa jadi bintang tapi sering pupus sebelum berkembang lantaran tidak mampu melahirkan karya besar. Padahal saya melihat mereka memiliki modal besar untuk digali menjadi tema² universal. Baik masalah sosial, politik, ekonomi yg diungkap secara estetik. Meski bersifat pribadi, bukankah jagat mikro merupakan cermin makro?
Modal yg saya maksud adalah kemiskinan yg dilibati di sisi kematangan skill yg dimiliki. Apabila dua sisi ini dipertemukan dalam perenungan yg mendalam kemudian menemukan idiometik bersumber dari kekayaan etnik nusantara yang begitu kaya, saya yakin akan lahir karya yg genuine. Karya yg mampu menjadi penanda zaman atas suatu fenomena.
Kemiskinan yg dihayati penuh syukur akan menjadi sumber inspirasi, yg ketika diungkap akan menyiratkan energi sekaligus ether yg murni. Bukan rekayasa pikiran yg cenderung kenes.
Apabila karyanya berbicara tentang ketidak adilan, tarikan nafas dan kuwas pelukisnya benar² menyatu padu. Keduanya memancar pada aura kekaryaan.
Apabila kira amati karya² besar, tidak hanya lukisan, pada umumnya dilahirkan ketika senimannya masih miskin.
Bukankan bisnis kemiskinan begitu seksi? Menurut saya, kaum borjuis pun menyenangi secara diam² karya² besar yg menyiratkan kemiskinan ketika memberontak pada zaman.
Demikian.
Catatan : Rokim Dakas
Penulis adalah mantan wartawan Surabaya Post