Kebaikan itu Abadi
Kolom

Kebaikan itu Abadi

Sebungkus nasi yang diberikan pada pengendara ojek, kemana muara sedekah itu? Memberi anak sangu sekolah yang kemudian dibelikan jajan, seberapa jauh kebaikan itu berkembang? Memberi sembako pada orang-orang yang terdampak corona, apa maknanya? Kenapa hanya bersedekah ketika ada bencana? Menjadi begitu aneh ketika ada aksi kemanusiaan, tidak berpartisipasi malah kepo.

Amat menarik jika membaca persepektif suatu kebaikan karena sifatnya abadi. Why? Sebuah kebaikan itu seperti biji padi yang menumbuhkan beratus-ratus bulir. Jika ada biji yang terjatuh kemudian tumbuh lagi maka akan ada ribuan padi baru, dstnya dstnya … Begitulah kebaikan, ia selalu mengembang tiada henti, abadi.

Sebungkus nasi yang diberikan pada pengendara ojek, setelah melahap tubuhnya menjadi kuat menjalankan pekerjaannya. Ketika memperoleh rezeki kemudian dinikmati bersama keluarga, mereka bahagia, anaknya bisa sekolah. lantaran gembira pikirannya bisa dengan mudah merekam ilmu yang di kemudian hari menopang kehidupannya … Energi nasi itu mengembang jauh, jauh sekali menembus batas tiada terkira.

Apalagi kebaikan yang ditabur begitu beragam, di situlah menejemen semesta bekerja secara rahasia mengalirkan kebaikan pada muara keabadian. Kebaikan yang disemai oleh jiwa-jiwa yang memperoleh penerangan hati.

Itulah ujian tersamar yang tidak setiap orang memiliki kepekaan untuk menangkap. Apa yang tumbuh dari hati daya tembusnya begitu kuat mempengaruhi siapapun yang memiliki kepekaan menjumput nilai.

Ketidak adilan manusia adalah mengharap rasa manis yang tak tak ada putusnya dengan membeci rasa pahit, padahal sejumput rasa pahit lebih berharga daripada segudang rasa manis.

Baru beberapa saat kita melepas lelah dari pertarungan ideologi di ajang pemilihan pimpinan negara. Sambil membasuh pikiran kita bersyukur bahwa perjuangan kaum nasionalis mampu mempertahankan Pancasila dari kejahatan berjubah agama yang hendak menggantikan sistem demokrasi Indonesia menjadi negara agama.

Keringat belum mengering tiba-tiba diterpa pagebluk. Patogen baru coronavirus begitu cepat menggerus sendi-sendi kehidupan negara sejagat.

Zona aman negara-negara besar ambyar oleh mortalitas hingga kemuliaan nyawa menjadi angka-angka pusara. Sungguh dahsyat semesta menggedor kedunguan penduduk bumi yang selama ini pongah. Peradaban yang dibangun berubah jadi seonggok bangkai, lumpuh, tak mampu melumpuhkan musuh yang bergerak liar tanpa bayangan.

Bencana tetaplah bencana, ia boleh meluluh lantakkan apapun, tapi tidak bisa memadamkan hati yang bercahaya. Hati yang bisa kagum oleh putihnya tulang pada seonggok bangkai. Aromanya boleh menyiksa tapi akan sirnah oleh kekaguman atas hadirnya bacaan akan nilai dari yang tak ternilai.

Kini, nilai itu ada di hadapan
Siapa yang mau menjumput?

Catatan : Rokim Dakas
Penulis adalah mantan wartawan Surabaya Post

Loading...

Post Comment

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.