Hidup selalu penuh kejutan. Ini juga yang dirasakan Ratna Devi, perempuan kelahiran Kediri, Desember 1966. Berbekal ijazah IKIP Surabaya Fakultas Olaharga, ia nekad melamar saat ada iklan lowongan kerja yang dikirim via surat oleh sang pacar.
“Waktu itu saya barusan diwisuda dan pulang ke Kediri. Setelah mengikuti serangkaian tes, akhirnya diterima masuk di Surabaya Post pada tahun 1990. Masuk diklat dua minggu dikawal mas Tjuk Suwarsono,” kenang Ratna.
Debut berjurnalistik Ratna kemudian diuji empat bulan kemudian. Saat itu ia dapat tugas pertama, meliput turnamen bulutangkis Indonesia Open di Bandung.
“Itu awal karir saya merasakan benar-benar menjadi wartawati. Yang benar-benar belajar mandiri, belajar menyajikan berita menarik, berbeda dengan koran lain, meski di event yang sama,” jelasnya.
Maklum, Harian Surabaya Post adalah koran sore. Banyak peristiwa hebat dikupas habis koran pagi, sehingga koran seperti Surabaya Post mesti berstrategi dengan konten, agar tidak dianggap mengulang konten koran pagi.
Ratna mengaku, ia memang mengawali karir di bidang olahraga. Karena waktu itu yang dicari Surabaya Post adalah wartawan olahraga. “Kebetulan ijazahku juga olahraga. Baru sekitar empat tahun kemudian di pindah ke bidang non olahraga. Waktu itu ganti memantau parpostel,” kata Ratna.
Tapi bicara pengalaman saat jadi wartawan, Ratna merasa jika liputan olahraga jauh lebih seru dan sarat tantangan.
Ia masih ingat, suatu ketika dapat tugas meliput Liga Divisi Utama ketika Mitra masih jaya. Setiap ketemu Arema, arena selalu diwarnai hujan batu, tawuran, dan aksi vandalisme lainnya.
“Ngeri, sih. Sampai saat ini jadi kenangan dan bahan cerita,” tukasnya.
Kalau pengalaman menyenangkan? “Kalau pas lagi dapat hadiah juara lomba penulisan. Kebetulan saya pernah juara tiga penulisan Telkom, juara harapan Lomba Foto Prapanca, dan lain-lain,” bangganya.
Berada di posisi seperti ini, perempuan yang kini aktif jadi pengusaha dan pengajar batik ini tak mau melupakan orang-orang yang membentuk skill jurnalistiknya. Seperti Tjuk Swarsono, hingga teman-teman di desk olahraga yang dikenal kompak, humoris, dan layaknya keluarga sendiri.
“Saya satu-satunya wartawan perempuan di desk olahraga, yang bertahan hingga akhir perjalanan perusahaan. Dua perempuan lain yang sempat masuk olahraga akhirnya keluar karena menikah,” kata Ratna.
Seperti karyawan lain di Surabaya Post, Ratna juga berhenti karena alasan perusahaan yang akhirnya dilikuidasi oleh pemilik.
Dari Surabaya Post, ia kemudian bergabung dengan Surabaya Bisnis lalu ke Harian Bangsa. Saat di Harian Bangsa inilah ia bertemu dengan teman pembatik. Lalu bikin Komunitas Batik Rejomulyo.