Setiap habis menyesap ilmu jurnalistik dari Pak Rubai Kacasungkana di Akademi Wartawan Surabaya (AWS) Kapasari, ambisiku jadi pimpinan redaksi selalu menggelegak. Percuma kuliah di kampus yang kini bernama Stikosa AWS ini kalau gak bisa jadi pimred.
Pada suatu ketika di tahun 1982, sesudah satu semester, aku mengikuti test rekruitmen reporter di Harian Pagi MEMORANDUM, bersaing dengan para senior. Aku lolos tes dan fit and proper test yg dilakukan oleh Pak Anton Suyono (kelak aku tahu beliau adalah ayah dari seniorku, Andri / LKBN ANTARA), Koresponden Radio Australia, ABC.
Aku lolos bersama lima orang lainnya, masing-masing Yoyo Nender (Surabaya), Adi Gemawan (Nganjuk), Bambang Sukartika (Bojonegoro), dan Herry Satriawan (Surabaya).
Oleh koordinator liputan Mas Fatah, aku dan Yoyo di BKO kan ke Redaktur Sport mas Jeremias Nana. Di MEMO ini aku bergaul dengan Moh Anis yang spesialis kasus, Jacky Kussoy yang stylish dan rada hedonis (karena celana jinnya minimal merek LEA). Tahun itu, 37 tahun silam, tas kameranya sudah Yves Saint Laurent/YSL. Benar benar Manado yang sempurna.
Oki Lukito dan Mas Jeri menjadi sumber pengetahuanku akan segala cabang olahraga, walau aku tahu Oki spesialis ski air, mas Jeri (redakturku) spesialis bridge. Untuk yang bersifat human interest, features, mentorku adalah Mas Cahyo Sudarso.
Mas Djoko Pitono yang selalu dibangga-banggakan Pak H Agil Haji Ali (Pimred) sebagai Ahli Rusia dan Jago bahasa Inggris, yang kebetulan sama-sama Wong Samin, Mas Djoko dari Blora, aku dari Pati, satu karisidenan. Sama-sama terpapar karakter Saridin dan Arya Penangsang.
Pak Agil dan mas Djoko kelak menginspirasiku bersentuhan dengan dunia sastra dan literasi. Kuakrabi karya-karya Pramudya Ananta Tour, William Faulkner, Ernest Hemingway, Alexander Nobokov, Nikolai Gogol, Solyenitsin, Maharaja Esai Amerika Gore Vidal : Gunawan Muhammad-nya Amerika. Sampai saat ini buku2 mereka masih aku simpan baik-baik. Cuma Arus Balik-nya Pram yang hilang entah diembat siapa.
Aku menyimpan ratusan Esai Gore Vidal dari 1952-1992 yang ditulisnya di Washington Post, New York Times, Herald Tribune, majalah Times dan lain-lain. Aku bertahan tiga tahun di MEMO. Tahun 1985 aku resign dari harian yang fenomenal (egaliter dan militansi krunya) ini. Tiga kali pamit (face to face) ke pak Agil, tiga kali ditolak.
Terang-terangan aku bilang: Mau Nyoba ke Surabaya Post, kayaknya ada peluang karena sehari-hari halaman sport nya didominasi berita seremonial dan dimonopoli dua orang saja: pak Ridwan dan mas Totok Juroto. Selain berita standar dari mas Sugeng Budiyanto di Jakarta.
“Surabaya Post? kok bukan Jawa Pos? Surabaya Post berat, wartawannya hebat-hebat,” kata Pak Agil, menakar keinginanku.
“Saya lebih suka peace journalism dan low profile nya SP pak, daripada war journalism yang hiperbolik dan bombas,” jawabku, pada kesempatan pamit yang keempat ini.
“Baik. Aku akan ACC resignmu, setelah karyamu bisa dimuat di Tabloid Bola, Surabaya Post, dan Majalah Tempo,” akhirnya Pak Agil memberi lampu hijau.
Segera kupenuhi tantangannya. Artikelku dimuat di Bola, berita tinjuku (via mas Ichwan Hadi) dimuat di Surabaya Post, dan foto sepakbola/persebayaku (via mas Toriq Hadad, Kepala Biro Jatim di Jl WR Supratman) dimuat di Majalah Tempo.
April 1985 aku resmi resign dari MEMO dengan gaji Rp 210 ribu, setelah di awal-awal gajiku Rp 160 ribu. Mei aku sudah mulai kirim-kirim berita sport ke mas Ichwan Hadi selaku redaktur di SP jalan sikatan.
Pelan-pelan aku beradaptasi, sok akrab dengan mas Zaenal Arifin MK, Mas Imam Pujiono, mas Syahrul Bachtiar, mas Djiman, Mas Zaenudin (fotografer) mas RM Yunani, dan yang paling fenomenal tentulah kenal Almukarom Gimo Hadiwibowo. Tetapi yang paling cepat akrab sama mas Saiful Bachri, pracetak, yang mengajariku cuci cetak foto BW.
Akhir Mei, mas Ichwan menyuruhku ke SP Pusat, menemui Mbak Sup.
“Nanti biar diantar Gimo,” kata mas Ichwan menyemangatiku.
Aku rada minder sebetulnya, karena secara psikis terkesan ada blok elite Surabaya Post TAIS (Jl TAIS NAsution) dan blok proletar SP Sikatan (Jl SIkatan). Selain itu aku juga belum siap bertemu dengan yang namanya Mas Tjuk Suwarsono, yang tampaknya menempati maqom tertentu di SP. Imagenya sudah ‘makrifatlah’ dalam dunia perjunalistikan di SP dan Jatim. Mahagurunya para newbie kayak akulah, istilahe.
Subhanallah bulan pertama, Mei, aku terima honor nyaris Rp 1 juta. Tepatnya Rp 965 ribu, dan itu tahun 1985 saudaraku, 1985! Pak Go (Wapimred) saja konon gajinya ‘hanya’ Rp 900 ribu per bulan. Take home pay. Sementara statusku cuma magang, yang proses gabungnya ke SP cenderung ilegal, atas rekomen dan pendekatan pribadi via mas Ichwan. Gak pake test, ngelamar dan lain-lain.
Oleh karena Rp 965 ribu itu, Gimo kemudian menasehatiku, untuk ambil honor tiap dua minggu sekali pada bulan-bulan berikutnya. Saran yang sama juga diberikan mbak Sup (katanya atas permintaan Ibu Toety Azis. Karena paska Mei, saking semangat dan produktifnya, honorku per bulan sudah di atas Rp 1 juta.
“Diambil tiap dua minggu ya dik, biar ndak numpuk banyak. Ini permintaan bu Azis,” kata mbak Sup. Barangkali karena fenomena honor melebihi gaji wapimred ini, suatu ketika aku harus berhadapan dengan Mas Tjuk.
Mas Tjuk memberi penugasan pada ku non sport ; tentang sistem pengamanan gedung-gedung tinggi di Surabaya dari bahaya kebakaran.
Aku hunting dan mulai wawancara ke pihak pengelola gedung tinggi dan Dinas PMK (kepalanya pak Mahfud waktu itu) yang kebetulan sudah aku kenal karena dia Ketua Persatuan Tenis Meja Seluruh Indonesia (PTMSI) Jatim.
Berita ku, terutama leadnya, dirombak total oleh Mas Tjuk, menurutku karena terlalu bombas. Aku sebut Gedung BNI dan Hotel Simpang di Jl Sudirman, Gedung Garden Palace di Jl Yos Sudarso sebagai pencakar langit. Hahahaha. Isin dewe aku rek kalo ingat, tapi lah bagaimana di Pati, kampung ku saat itu gedung tertinggi cuma tiga lantai.
Tapi rasanya bangga beritaku dan kodeku (X6) bisa muncul di halaman dua (kota) mendampingi X1 (Taufik Ibrahim), X2 (Darmantoko), X3 (Denny Nuryadi).
Penugasan kedua dari Mas Tjuk adalah wawancara dengan Arief Budiman ke Salatiga, Jateng. Tanpa materi-materiyang harus ditanyakan. “Modyar aku,” dalam hati.
Begitu ketemu Arief Budiman di ruang kerjanya di UKSW, aku langsung blak-blakan, “Mas, maaf, saya ini wartawan olahraga, saya ndak tau blas politik, dan heran kok ya ditugaskan wawancara mas Arief”.
“Tumben-tumbennya nih Surabaya Post. Gini aja topiknya apa?” komen arif budiman.
“Ndak tau mas. Pokoke wawancara anda, gitu aha tugas saya. Ngiras ngirus balik kampung, Pati.
“Gimana kalo kita ngobrol soal politik mbelgedes ini, Suharto dan PKI, brani muat kalian?”
Saya jawab ; Brani mas!
“OK, bawa tape recorder kamu?”
Bawa!
Hasilnya aku ketik panjang lebar. Saya serahkan ke Mas Tjuk, di edit jadi dua kolom di halaman satu, di kiri halaman, bawah headline persis. Sata tahu, secara psikologis penempatan ini di halaman koran jadi ndak eye catching.
Dari pemadam kebakaran dan Arief Budiman aku dapat ilmu penulisan dari Mas Tjuk. Berita yang baik, bisa dihasilkan jika penulisnya punya frame of reference dan frame of expirience yang baik pula daripada materi yang ditulisnya. Kemudian setelah dipercaya jadi asisten mas Ichwan (redaktur), saya dapat ilmu ‘menjahit, bukan merenda berita’ dan ‘bullet paragraph’.
Dari Arif Budiman saya dapat tambahan, bahwa seharusnya segala kegiatan jurnalistik dan publisistik itu ber-roh sastra. Karena ilmu ini seharusnya masuk disiplin ilmu filsafat, bukan komunikasi.
oleh : Iwan Hadi Wirawan
* Penulis adalah mantan wartawan Surabaya Post