Henri Nurcahyo Luncurkan Buku Warisan Budaya tak Benda
Info Baru Kiprah

Henri Nurcahyo Luncurkan Buku Warisan Budaya tak Benda

Menambah daftar puluhan buku yang pernah ditulis, bulan ini, Henri Nurcahyo meluncurkan buku berjudul ‘WBTB : Warisan Budaya tak Benda Jawa Timur 2013 – 2018’.

Buku ini ditulis Henri bersama Layli Ramadani, Alumnus S-1 Sastra Inggris Universitas Negeri Surabaya dan S-2 Kajian Tradisi Lisan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI).

“Apakah yang disebut Warisan Budaya Tak Benda (WBTB)? Jujur saja, tidak banyak orang yang mengetahuinya. Selama ini yang disebut Warisan Budaya sering dipahami seperti candi-candi dan peninggalan purbakala,” kata Henri.

Pemahaman ini, lanjutnya, memang tidak salah. Tetapi itulah yang disebut Warisan Budaya Benda (WBB – Tangible Cultural Heritage), sedangkan WBTB disebut Intangible Cultural Heritage.

“Maka dalam buku inilah dijelaskan apa itu yang disebut WBTB. Penjelasan singkatnya adalah, kalau WBB adalah terkait dengan bendanya sendiri, sementara WBTB (antara lain) lebih berurusan dengan nilai-nilai di balik benda itu,” jelas penulis lepas yang juga aktif sebagai penggerak Budaya Panji ini.

Buku Henri Nurcahyo

Mantan wartawan Memorandum dan Surabaya Post ini juga mengatakan, penerbitan buku ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman terhadap apa yang selama ini sudah sangat lama menjadi kekayaan budaya bangsa Indonesia, tetapi tidak atau kurang sekali mendapat perhatian sebagaimana mestinya.

Banyak sekali generasi muda, bahkan masyarakat pada umumnya, yang tidak menyadari ada sesuatu yang telah mereka lompati dalam proses berbudaya.

Kasus unjuk rasa perihal Reyog Ponorogo yang ‘diklaim’ Malaysia hanyalah salah satu contoh bahwa pencatatan kekayaan budaya itu sangat penting.

“Kita seringkali abai dengan kekayaan budaya milik sendiri, tetapi begitu ada negara lain yang mengakuinya, baru kita ribut dengan melakukan berbagai aksi mengecamnya,” sesalnya.

Padahal, lanjut Henri lagi, soal pendataan kekayaan budaya itu sendiri masih sangat kurang diperhatikan, baik di lingkungan birokrasi budaya maupun para pelakunya. Bahkan di tingkatan lapangan, masih saja ada pertanyaan, ‘buat apa didata segala? Apakah akan ada bantuan?’.

Padahal, logikanya, yang sudah dicatat saja bisa ‘hilang’ apalagi yang belum dicatat. “Tanpa ada pencatatan, bagaimana mungkin dapat melakukan Perlindungan, Pengembangan, Pemanfaatan dan Pembinaan terhadap karya budaya sebagaimana yang sudah diamanatkan oleh Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan?” tanya pria kelahiran Lamongan dan pernah sekolah formal di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gajah Mada Yogjakarta ini.

Kita, kata Henri, sering menyebut jika bangsa Indonesia ini amat sangat kaya dengan karya budaya, berupa adat istiadat, kesenian, pengetahuan tradisional dan sebagainya. Tetapi begitu ditanya apa saja, berapa, dimana, kapan dan sebagainya, ternyata miskin sekali datanya.

Tidak ada catatan yang jelas soal deskripsi karya budaya tersebut. Belum lagi dokumentasi berupa foto, video dan juga kajian berupa karya ilmiah terhadap karya budaya tersebut.

“Karena itulah dalam buku ini dipaparkan mulai dari pengertian WBTB, pentingnya pendataan karya budaya, dan contoh-contoh karya budaya yang sudah diakui Unesco. Tentu saja, yang diutamakan adalah karya-karya budaya dari Jawa Timur yang telah ditetapkan menjadi WBTB nasional, sejak tahun 2013 hingga 2017, ditambah karya budaya tahun 2018,” jelas pria yang beberapa kali menjuarai lomba karya tulis jurnalistik di berbagai bidang ini. (hdl)

Loading...

Post Comment

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.