Gemblak merupakan seni pertunjukan yang dalam sajiannya melibatkan unsur tari, drama dan musik (karawitan). Gemblak berasal dari kata digegem dan diblakne yang bermakna bahwa sesuatu yang jelek ditinggalkan. Selain itu Gemblak juga bermakna digegem dan dilaksanakan yang berarti sesuatu yang baik dipegang dan dilaksanakan. Menurut sumber lain mengatakan bahwa kata Gemblak adalah nggegem blaking Panji, dalam artian bahwa kesenian Gemblak tersebut berpegang pada kitab Panji, hal tersebut dibuktikan pada setiap pergelaran selalu membawakan lakon/cerita siklus Panji, misal : Cerita Ande-ande Lumut, Timun Mas, Panji Laras, Joko kendil, dsb.
Seperti halnya kesenian Wayang Orang, dalam pementasan Wayang Panji pun tidak jauh berbeda. Ada jagat pakeliran yang menggambarkan keluasan dunia, dan seperangkat gamelan pengiring. Setiap adegannya dibuka oleh jejer yang diperkuat dengan bawa suluk sang dalang. Bedanya dalam Gemblak tak diiringi pesinden.
Di wilayah kabupaten Tuban, kesenian Gemblak masih bisa dijumpai di wilayah Kecamatan Kerek, tepatnya di Dusun Bawi Wetan, Desa Hargoretno Kecamatan Kerek. Kesenian tradisional yang telah memasuki generasi keempat dalam perkembangannya di Dusun Bawi Wetan. Tidak ada yang tahu pasti, kapan Gemblak mulai berkembang di daerah perbukitan kapur utara ini.
Konon Gemblak atau juga dikenal dengan sebutan Wayang Panji, dikenalkan oleh Mbah Kersa, salah satu tokoh dari Trenggalek pada masa itu. Pun tidak ada yang tahu siapa jatidiri lelaki kondang di ranah seni tradisi di jamannya tersebut.
Sarbini, dalang Gemblak, tak menyangkal apabila dalam kesenian Gemblak, menyimpan hal-hal mistis. Seperti halnya properti kuda lumping. Katanya kuda dari bambu itu tak boleh disentuh, apabila tidak ingin mengamuk saat digunakan. Pun kuluk ratu yang harus dibasuh dengan kemenyan sebelum dipakai pentas.
Lha nek kuluk’e ratu kuwi durung tak labur menyan, sing nggawe yo mesti sirah’e ngelu, (Kalau kuluk milik ratu belum saya labur kemenyan, yang menggunakan pasti kepalanya pusing), begitu ungkap Sarbini.
Selain itu, cara perawatannya pun tidak meninggalkan unsur magis. Biasanya setiap Jum’at Legi, Dalang Sarbini membersihkan sandangan (kostum) Gemblak dengan cara melabur menyan.
Hal tersebut ditegaskan pula oleh pimpinan kelompok Gemblak Bawi Wetan, Parmudi, saat dijumpai di rumahnya. Katanya anak perempuan yang sedang berhalangan atau haid tidak diperkenankan untuk ikut pentas. Bila larangan ini dilanggar maka tidak sedikit dari mereka yang kerasukan.
Parmudi, pelaku Gemblak, sangat menyayangkan, Gemblak tidak lagi mempunyai geliat untuk bangkit. Bahkan kostum dan properti Wayang Panji ini teronggok tak terjamah di rumahnya. Sandangan Wayang Panji ini hanya sesekali dikeluarkan ketika ada peringatan hari besar seperti pawai 17 Agustus. Itu pun tidak digunakan dalam pementasan.
“Sebenarnya, anggotanya masih ada kalau dikumpulkan, tapi ya tidak semua karena beberapa diantaranya sudah ada yang meninggal,” tutur Tarmudi.
“Jujur saja, saya kesulitan kalau mau mengumpulkan mereka,” imbuhnya.
Menurut warga Dusun Bawi Wetan, Suprapto (60 tahun), “dulu, Gemblak itu tidak hanya sebagai tontotan, tapi juga upacara untuk meminta hujan,” kenang Suprapto.
Diawali dari punden Bawi Wetan, arak-arakkan pemain Gemblak digiring menuju sumber air di dusun tersebut, lantas di sana mereka memainkan lakon hingga turun hujan.
Kesenian ini pernah mengalami puncak keemasannya pada tahun 70-an hingga Tahun 80-an. Seiring perkembangan zaman keberadaan kesenian ini sudah mulai tergeser oleh jenis kesenian yang lain. Misalnya, electone, dangdut, dan campursari sehingga kesenian ini hanya dapat ditemukan dalam acara-acara seperti HUT Proklamasi dan orang nadzar. Oleh karena itu usaha pelestarian serta pengembangan dibutuhkan kerjasama yang baik dan saling bersinergi antara pelaku seni, pemerhati seni, lembaga seni dan masyarakat pendukungnya.
Beruntunglah malam ini (24/8), kesenian yang baru saja ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia ini pentas di alun-alun Tuban. Tontonan yang langka.
oleh : Henri Nurcahyo
* Penulis adalah mantan wartawan Surabaya Post