Edisi Kontemplasi: Kesalehan Ritual dan Kesalehan Sosial
Kolom

Edisi Kontemplasi: Kesalehan Ritual dan Kesalehan Sosial

Dalam menjalankan perintah dalam agama Islam kita tidak boleh hanya menitik beratkan pada aspek simbolis semata, jangan sampai perintah dalam agama Islam seperti yang sejatinya mengajak kepada kebaikan malah menjauhkan orang lain dari kebaikan.

Makna Islam terbagi menjadi dua, yaitu Islam secara simbolik dan Islam secara substantif. Simbolik artinya adalah hanya sekedar simbol atau tanda saja tidak lebih, sedangkan makna dari substantif adalah esensi, inti dari suatu hal ihwal.

“Saya rasa banyak orang yang tadinya ingin mengenal Islam berbalik tidak peduli bahkan memusuhi islam karena sikap para penganutnya yang hanya mementingkan simbol belaka,” Demikian Dendy Raditya Atmosuwito menulis di laman Indoprogress.

Dendy mencontohkan, seperti adanya keinginan mendirikan negara Islam namun dengan cara-cara yang tidak Islami sama sekali, melakukan terorisme, pembunuhan, pemerasan, perampokan dll.

Menarik kiranya untuk mengulik pemikiran Asghar Ali Engineer, penulis dan aktivis Islam progresif India kelahiran Salumbar, Rajasthan, 10 Maret 1939 yang wafat pada pada 14 Mei, 2013. Jika agama hanya dipahami sebagai hubungan mesra antara seseorang dengan Tuhannya maka agama hanya membuat manusia “terlena” dengan kenikmatan ritual tanpa peduli dengan realitas di sekelilingnya.

Konsep tauhid bukan sekedar bermakna keesaan Tuhan tetapi juga bermakna kesatuan manusia. Tauid adalah jalan untuk pembebasan kemanusiaan. Untuk itu, penanaman tauhid yang kokoh mestilah diikuti dengan komitmen kemanusiaan yang kokoh pula.
.
Membaca pikiran tersebut maka tidak heran mengapa Asghar Ali sangat peduli dalam menyoroti kezaliman dan penindasan. Baginya, orang yang benar-benar relijius akan sensitif terhadap penderitaan orang lain, terutama penderitaan orang-orang yang tertindas. Seorang relijius akan menentang ketidakadilan.

Asghar Ali menuturkan, orang yang diam dan membisu ketika melihat ketidakadilan dan penindasan tidak pantas disebut relijius. Dari telaah kesejarahan, Asghar menyimpulkan bahwa Nabi Muhammad sebagai sosok yang relijius sekaligus revolusioner yang berjuang untuk melakukan perubahan-perubahan secara radikal dalam struktur masyarakat pada zamannya.

Selama ini kita sering menjadikan ritual-ritual sebagai sebagai tujuan. Dalam sebuah hadist dikisahkan bahwa suatu ketika Nabi Muhammad mendengar berita tentang seseorang yang rajin shalat di malam hari dan puasa di siang hari, tetapi lidahnya sering menyakiti tetangganya.

Bagaimana komentar Nabi? Singkat saja dia berkata, “Ia di neraka.” Hadist ini memperlihatkan kepada kita bahwa ibadah ritual saja belum cukup ia mesti dibarengi dengan kesalehan sosial.

Dalam hadist lain diceritakan, seeorang sahabat pernah memuji kesalehan orang lain di depan Nabi, lalu Nabi bertanya, “mengapa ia engkau sebut sangat saleh?” Sahabat itu menjawab, “soalnya, tiap saya masuk masjid dia sudah shalat dengan khusyuk dan ketika saya pulang, dia masih saja khusuk berdoa.”

“Lho, lalu siapa yang memberinya makan dan minum?” tanya Nabi.
“Kakaknya,” sahud si sahabat tersebut.
Nabi berkata, “Kakaknya itulah yang layak disebut saleh.”
Sahabat itu terdiam

oleh : Rokim Dakas
* Penulis adalah mantan wartawan Surabaya Post

Loading...

Post Comment

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.