Di masa lalu, Iwan Hadi Wirawan dikenal sebagai wartawan olahraga kelas kakap. Ia dinilai tidak sekadar lihai membuat reportase dan naskah berita. Ia juga jago membuat analisa, pantang menyerah menemui nara sumber.
Etos kerja semacam ini sudah melekat sejak aktif menjadi wartawan Harian Memorandum di tahun 1980-an. Lalu 1985, ia pindah ke Harian Sore Surabaya Post dan langsung duduk di desk olahraga.
Beberapa saat ia gabung, datang Rokim Dakas, Djoko Pitono, hingga M. Anis. Ia juga berkenalan dengan Tjuk Swarsono yang kemudian banyak membantu proses penyempurnaan dalam berkarya.
Kultur koran sore yang memberi banyak ruang untuk eksplorasi membuat Iwan bersemangat. Hari-harinya dilakoni dengan semangat membuat karya terbaik. Tak heran jika namanya kemudian masuk dalam daftar nominasi Piala Prapanca.
“Tahun 1986 sempat terpilih jadi wartawan terbaik di Surabaya Post. Bersama Mas Darmantoko dan Mas RM Yunani. Tahun 1987, karya saya terpilih jadi foto terbaik, dapat penghargaan Prapanca,” kenang Iwan.
Laju perjalan karir Iwan makin menjulang saat diangkat jadi karyawan tetap. “Walau sejujurnya saya juga kecewa. Karena setelah diangkat, pendapatan saya jadi lebih kecil,” katanya sambil tertawa.
Sebelum diangkat, Iwan mengaku bisa mengumpulkan honor sampai Rp 1 juta-an. Setelah diangkat pendapatannya justru di bawah itu.
Dulu, kata Iwan, ada istilah kalau sudah diangkat berarti telurnya pecah. Telur ini sebutan untuk inisial wartawan baru. Saat itu, mereka yang baru memulai dapat kode inisial wartawan 0 atau X. Jadi ada 01, 02, atau X1, X2, dan seterusnya.
Iwan sendiri dapat kode inisial X6.l Setelah diangkat jadi HDW. Saat itu Iwan beberapa kali dapat kesempatan liputan ke luar negeri. Seperti liputan Asian Games di Korea, liputan kejuaraan All England di London, dan Sea Games di Malaysia.
“Banyak yang iri melihat saya diberi kesempatan seperti ini,” kata Iwan sambil tertawa.
“Dulu beberap kali tidak ngambil honor. Sampai ditegur Bu Tuti Azis. Biasanya honor lalu diambilin sama Gimo. Diserahkan dalam kondisi sudah dipotong hutang,” canda Iwan.
Tahun 1989, Iwan pamit ke Tuti Azis. Bersama beberapa kenalan ia dapat peluang berkarir di Berita Buana Jakarta. Bareng Budiono Darsono yang kini di Kumparan.com, disusul Sapto Anggoro yang sekarang di tirto.id.
Di Berita Buana, Iwan dipercaya menjadi redaktur olahraga hingga 1991. Saat itu ia diminta Dahlan Iskan untuk memegang Tabloid Kompetisi, Jawa Pos Group.
“Sampai tahun 1997. Saya keluar dan mulai jualan lontong mi, rawon tanpa lemak, dan lontong mi,” katanya.
Jauh dari hingar bingar industri media, Iwan suatu saat pernah didatangi orang tak dikenal. Ia datang membawa uang sebesar Rp 16 juta yang dimasukkan dalam amplop berwarna coklat. Ia juga berpesan agar datang ke Jakarta.
“Saya tidak berangkat. Lalu beberapa hari kemudian diberi kabar, Timmy Habibie ke Surabaya dengan helikopter. Kami bertemu di Bandara Juanda, lalu ia menyerahkan travek check sebesar Rp 1 miliar,” jelas Iwan.
Tugas Iwan sangat jelas. Ia harus membangun tabloid olahraga. Sesuai permintaan Timmy saat itu, bikin tabloid dalam dua minggu.
“Uang Rp 1 miliar saya pakai nyulap rumah di Jl Slamet. Beli komputer, macam-macam. Lalu berdiri Tabloid Libero, disusul Sky FM. Semua dalam satu perusahaan, Timsco Media,” jelasnya lagi.
Tahun 2002 Libero tutup. Iwan pun bergabung dengan Majalah Dewan Rakyat. Gara-gara pemberitaannya, media ini disomasi PKS hingga akhirnya tutup pada 2004. Perjalanan Iwan pun berbelok ke Bimantara milik Bambang Tri, lalu diminta menjadi pimred Tabloid Sportcast.
Tabloid setebal 32 halaman ini pun ternyata tak berumur panjang. “Tahun 2007, Sportcast tutup. Saya sempat nyaleg jadi DPR RI 2009. Dapat 116 ribu suara. Lalu aktif di ICMI, kemudian ke Natuna TV tahun 2009-2011.
Saat itu Iwan jadi direktur pemberitaan dan program, berpartner dengan Yusron Aminulloh, sesam mantan wartawan Surabaya Post.
Pulang ke Jawa, Iwan kemudian jadi peternak ayam. Dari pesangon ia bisa membeli 200 ekor ayam yang kemudian ditaruh di Kudus. Sementara ia sendiri tinggal di Pati. Hingga 2014, Iwan diserang stroke dan tangan kirinya lumpuh. (hdl)