Dari Pedagang Roti Keliling Menyapa Dunia
Info Baru Info SS

Dari Pedagang Roti Keliling Menyapa Dunia

Sejak kecil, Djoko Pitono Hadiputro suka membaca komik wayang dan cerita silat karya Kho Ping Ho. Meski di sisi lain, pria kelahiran 25 Desember 1953 ini juga suka membaca koran, majalah, buku-buku sejarah, termasuk buku tentang perang.

Djoko menjalani masa sekolah dasarnya di SR No 3 Blora, dilanjutkan di SMPN 1 Blora, lulus 1969, lalu sekolah di STM Migas Jurusan Kimia Industri di Cepu dan selesai 1972.

Sempat bermimpi akan kerja di Migas Cepu atau Pertamina, nasib Djoko Pitono justru membawanya ke Surabaya, bekerja di sebuah pabrik roti di Jl Kalisari Pesarean.

“Bekerja di pabrik roti lumayan menyenangkan, meski gajinya rendah. Saya ingat digaji Rp 125 per hari. Atau Rp 900 per minggu. Bila mau makan roti bisa semaunya, asal tidak dibawa pulang,” kenangnya.

Enam bulan berjalan, Djoko akhirnya memutuskan untuk ikut kursus Bahasa Inggris. Karena minatnya yang cukup besar di bidang bahasa, dia juga mengambil kursus Bahasa Jerman di Goethe-Institute Surabaya dan Bahasa Rusia di konsulatnya yang berada di Jl Diponegoro, Surabaya.

Tak berhenti di situ, ia juga belajar berbagai bahasa asing yang lain, termasuk Jepang, Mandarin, Belanda, Jepang, dan Perancis. Untuk Bahasa Belanda, ia belajar di kampus ITS, Jl Cokroaminoto, Bahasa Prancis di CCF Surabaya, Bahasa Jepang di Konsulat Jenderal Surabaya, dan bahasa Mandarin di Kantor PWI Surabaya.

“Meski banyak yang hilang karena kurang terpakai, tapi belajar bahasa-bahasa ini terasa sangat bermanfaat,” kata Djoko.

Tahun 1976, Djoko mulai kuliah di IKIP Surabaya (sekarang UNESA), mengambil studi Bahasa Inggris. Masuk kuliah, dia memutuskan untuk berhenti dari pabrik roti dan mulai berjualan roti sendiri.

Dalam keadaan seperti ini, Djoko sebenarnya mulai merasa keteteran. Bagaimana tidak. Malam hari, roti sudah ditata di rombong. Lalu pukul 04.00 WIB sudah berangkat ngonthel dengan rombong berisi penuh roti dari pabrik menuju IKIP Ketintang.

Terus berkeliling ke rumah warga, perumahan dosen, hingga PLN Ketintang. Jam 06.30 harus berhenti. Usai sarapan, jam tujuh berangkat kuliah. Rombong dititipkan di tempat parkir kampus. Siang, usai kuliah, ia kembali melanjutkan keliling jual roti dan cari toko-toko baru yang mau menjual roti.

“Saat itu saya belum menulis. Hanya menulis catatan pendek. Tapi sudah sering ke Toko Buku Gramedia, beli buku dan majalah asing,” imbuhnya. Satu setengah tahun kemudian, sekitar tahun 1977, ia sudah bisa membeli sepeda motor CB.

Jadi loper roti, lanjut Djoko, rezekinya lumayan. Sehingga bisa sering ke toko buku dan berlangganan majalah asing seperti Newsweek dan Time.

Lulus Sarjana Muda pada 1980, ia mula terjun di dunia jurnalistik dengan bergabung menjadi wartawan di Mingguan Memorandum. Sebelumnya juga pernah menulis di harian berbahasa Inggris, The Indonesia Times.

Saat baru masuk Memorandum, ia masih jualan roti. Tapi hanya memasukkan ke toko-toko. “Saya kebetulan juga aktif menjadi guru SMA dan STM Semen Gresik. Roti kemudian saya lepas karena saya mulai kerja jadi guru sekaligus wartawan,” tambah Djoko.

Satu tahun kemudian, media ini merubah format dari mingguan menjadi harian. Djoko bahkan ditunjuk sebagai redaktur pelaksana. Di surat kabar ini pula ia berkesempatan menjelajah Negeri Matahari Terbit selama dua pekan.

Perjalanan hidup Djoko Pitono terus berlanjut. “Kuliah lagi di Program Transfer di IKIP Surabaya, saya juga menulis di berbagai suratkabar. Tahun 1986, masuk Surabaya Post, dan mengajar di almamater sebagai pengajar luar biasa setelah lulus 1987,” jelasnya.

Lulus kuliah, Djoko mengaku tidak tertarik untuk menjadi pegawai negeri sipil seperti beberapa kawannya. Ia justru memilih bekerja di Harian Surabaya Post. Di koran sore terbesar di Jawa Timur ini ia sempat dipercaya menjadi redaktur internasional hingga 2002, saat koran ini ditutup karena likuidasi. (andre/hdl)

Loading...

Post Comment

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.