Dari Bengkel Muda ke Koran Ternama Surabaya
Info Baru Lho Iki Lak

Dari Bengkel Muda ke Koran Ternama Surabaya

Bengkel Muda Surabaya melahirkan banyak orang hebat. Sebagian di antaranya juga populer sebagai penulis dan wartawan yang diperhitungkan. Sebut saja nama Akhudiat, Rusdi Zaki, Jill P. Kalaran, Djoko Su’ud Sukahar, Pocek, Sirikit Syah, dan Rokim Dakas.

“Saya sering di Bengkel tahun 1976, sampai 2006. Saya kebetulan suka teater dan seni rupa,” aku Rokim Dakas, mantan wartawan Surabaya Post, saat ditemui di Kampung Ilmu, Surabaya.

Di Bengkel Muda Surabaya (BMS) ia juga bertemu M. Anis, kini aktif di Ngopibareng.id dan Pasar Seni Lukis Indonesia. Kata Rokim, BMS adalah gudangnya seniman dan wartawan.

Sebagai orang yang suka seni rupa, ia kemudian mencoba cari rejeki dengan mengirim kartun ke beberapa media. Salah satu yang ia ingat adalah Mingguan Jayabaya.

“Itu interaksi pertama saya dengan media massa. Bikin kartun, bukan menulis,” akunya.

Karena honor yang diterima tidak terlalu istimewa, bersama dua rekan yang lain, ia kerap menjual tumpukan koran di BMS. Dijual per kilogram, lalu hasilnya dipakai beli makan untuk ber tiga.

Tak jarang ia nekad nyahut spanduk di sekitar Balai Pemuda, lalu dijual. Hasilnya sama, dipakai beli nasi tiga porsi.

“Saya belajar banyak dari tempat itu, juga orang-orang yang ada di dalamnya. Jadi saat melihat mereka lapar ya terpanggil, harus melakukan sesuatu agar kami bisa makan,” katanya.

Tak heran, saat sudah tidak ada yang bisa dijual, Rokim pulang ke rumahnya di daerah Ngemplak. Di rumah ada nasi dan lauk, langsung dibawa ke Balai Pemuda. Sesudahnya mereka bisa makan bersama.

Pengalaman bermedia datang saat Yousri Raja Agam mengajaknya. Waktu itu, ia hanya dapat info kalau mau diajak makan. Nyatanya, ia diajak berbelok ke Embong Ploso, tepatnya di Kantor Redaksi Radar Kota.

“Di situ mereka tanya, saya bisa apa? Ya saya bilang, saya nggak bisa nulis. Saya bisanya bikin kartun,” kenang Rokim sambil tertawa.

Saat ditanya lagi, tulisan apa yang bisa, ia menunjuk ke halaman tajuk. Padahal tajuk biasanya ditulis wartawan senior. Sejak saat itu, ia jadi penulis tajuk di Radar Kota. Proses ini berjalan sekitar satu tahun. Hingga suatu saat, ia ikut sebuah forum diskusi yang menghadirkan Agil H. Ali sebagai nara sumber.

“Di forum saya mendebat paparannya. Lalu usai diskusi, Pak Agil menghampiri saya dan meminta datang ke tempatnya, di kantor Memorandum. Saya disuruh jadi wartawan,” katanya lagi.

Datang ke kantor redaksi, Rokim langsung dapat tugas menulis lima kampung Surabaya yang belum tersentuh pembangunan. Ia langsung berkata, “Saya jalan-jalan di lima kampung ini naik apa? Saya nggak punya uang”.

Penawaran pun berganti. Tidak jadi menulis kampung, ia diminta ke Unit Gawat Darurat RSUD dr Soetomo. Asumsinya, ia tidak perlu berkeliling. Cukup di satu tempat.

Setelah tiga hari di UGD ia mengeluh, perut mual gara-gara tidak betah melihat darah. Ia pun menyerah. Karir di Memorandum tahun 1983 itu mandeg dalam satu bulan.

Satu tahun kemudian, tahun 1984, ia diajak Sam Abede Pareno bergabung di Suara Indonesia. Rokim masih ingat, tawaran ini datang di bulan Februari 1984. Berbeda dengan saat di Memorandum, kali ini usia bekerjanya lebih panjang. Rokim tercatat menjadi wartawan hingga 1987.

Berbagai pengalaman jurnalistik ia peroleh di media ini. Sampai suatu ketika ia dapat tawaran bekerja di Surabaya Post. Peluang ini diperoleh dengan jalan unik.

“Saat di Suara Indonesia, pas tidak dapat berita, saya suka diskusi dengan Rubai Katjasungkana. Kami diskusi tentang musik. Kebetulan beliau paham musik luar dalam,” katanya.

Dari Rubai, Rokim suka dapat ide berita. Termasuk lika-liku permusikan di Surabaya. “Pak Rubai pernah marah-marah. Gara-gara pembicaraan itu saya tulis tanpa ijin. Tapi ya gitu aja marahnya. Wong saya malah diberitahu supaya ke Surabaya Post,” kata Rokim sambil tersenyum.

Lagi-lagi bulan Februari, tahun 1987, Rokim bersiap ke Surabaya Post. Karena koran ini dikenal sebagai media massa ternama, ia langsung sibuk mencari baju dan celana terbaik. Sialnya, dia cuma punya celana jeans.

Di kantor redaksi SP ia langsung ditegur, “Ini pakaian apa? Ini pakaian paling jelek. Di SP tidak bisa bekerja dengan baju seperti ini”.

Rokim langsung berang, “Lho, pak. Ini baju paling bagus yang saya punya”. Ia langsung menghadap ke Rubai. Entah bagaimana caranya, Rubai kemudian bisa mengkondisikan agar Rokim bisa menulis meski tetap mengenakan celana jeans.

Di Surabaya Post, Rokim aktif menulis feature. Ia pernah menulis kehidupan malam Surabaya, dan masih banyak lagi. Di akhir artikelnya, ia menggunakan nama Lazuardi.

Sampai suatu ketika, ia bertemu Iwan Hadi Wirawan. Usai berbicara panjang lebar, Iwan memberi tahu, “Kamu jangan di Jl TAIS Nasuition, mending kerja di Jl Sikatan”. Dan sejak saat itu ia lebih sering menulis di Jl Sikatan.

Bersama Iwan, karir Rokim Dakas perlahan menjulang. Sebagai wartawan baru. kredit tulisannya selalu 0 atau nol. Setahun saja, ia sudah dapat kredit dengan namanya sendiri. “Asal tahu saja, di SP, wartawan baru kebanyakan butuh empat tahun lebih agar telurnya pecah,” aku Rokim.

Di luar itu, Rokim memang tipe orang yang total dalam bekerja. Di SP ia hanya tahu menulis dan menulis. Ia tak punya waktu buat nge-game seperti yang dilakukan wartawan lain saat jeda.

Usai menulis ia masuk ruang layout untuk belajar. Juga ke percetakan. Semangat ini ia lakukan karena satu alasan, ia ingin belajar dunia media, dari hulu hingga ke hilir. (hdl)

Loading...

Post Comment

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.