Di pantainya Tanah Jawa yang berdesak-desakan,
Datang selalu tuan-tuannya di setiap masa,
Mereka datang beruntunan seperti runtunan awan,
Tapi anak pribumi tak pernah kuasa.
(Syair penyair Belanda, yang dikutip Prof. P.V. Veth dan dikutip Bung Karno dalam risalah Menuju Indonesia Merdeka, 1933)
Fareed Zakaria, seorang jurnalis terkemuka Amerika, beberapa tahun lalu menerbitkan buku berjudul The Post-American World. Buku yang terbit pada 2012 tersebut telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Gejolak Dunia Pasca-Kekuasaan Amerika (Desember 2015).
Di dalam buku tersebut, Fareed antara lain mengemukakan bagaimana banyak negara dalam mengalami kemajuan ekonomi secara fantastis dan sebagian bahkan Tiongkok hampir menggeser posisi Amerika yang dalam 100 tahun terakhir ini unggul segala-galanya atas negara lain.
Orang-orang miskin dan melarat memang masih banyak. Namun negara-negara berpendudukan besar seperti Tiongkok, India, Brasil, Turki, dan lain-lain telah mencapai kemajuan sangat pesat. Rakyat bertambah makmur, kemiskinan berkurang sangat besar. Ekonomi Tiongkok bahkan akan melampaui Amerika dalam waktu dekat. India yang dulu dipandang sebelah mata, sekarang banyak digandeng berbagai negara. Brasil yang pada 1990-an karut-marut, sekarang punya devisa ratusan miliar dollar AS.
Indonesia? Fareed Zakaria memang sedikit menyinggungnya, termasuk yang membaik. Teman saya Satria Dharma menyebut banyaknya orang yang berumroh adalah salah satu ukurannya. Miskin kok umroh, katanya. Tetapi, kita tahu sendiri juga, negeri ini masih tetap tersandung-sandung. Ekonomi memang membaik, begitu kata orang. Tetapi kesenjangan kaya-miskin masih sangat lebar. Teman saya lainnya, Teguh Wahyu Utomo, menyebutkan sebagian besar anak muda kita tidak melek finansial.
Penyebabnya? Para cerdik pandai menyebut, kita kekurangan SDM yang kreatif, inovatif, dan penuh idealism. Termasuk yang utama adalah para entrepreneur alias wirausaha.
Kabar baiknya, berbagai pihak di Tanah Air dalam beberapa tahun terakhir rajin berbicara tentang upaya pengembangan jiwa kewirausahaan atau entrepreneurship. Beragam forum di sekolah-sekolah dan kampus-kampus diadakan untuk meningkatkan motivasi dan minat generasi muda untuk nantinya terjun di dunia kewirausahaan. Kunci masa depan bangsa ini jelas bergantung pada semangat wirausaha generasi muda.
Begitu pentingnya wirausaha, Pondok Pesantren Amanatul Ummah di Surabaya dan Pacet, Mojokerto, menetapkan salah satu misi pondok besar itu (hampir 10.000 santri dari seluruh Indonesia) adalah mengupayakan para alumninya menjadi para pedagang besar. “Kita bekerja keras agar alumni kita jadi ulama besar, bahkan tingkat dunia. Menjadi para ilmuwan dan profesional unggul. Juga jadi konglomerat-konglomerat besar, yang dermawan dan punya komitmen membantu rakyat miskin secara ikhlas dan serius,” tutur Pengasuh Ponpes Amanatul Ummah, Dr KH Asep Saidffudin Chalim, MA.
(Para alumni Ponpes Amanatul Ummah memang unggul di mana-mana. Tiap tahun, ratusan alumninya diterima di universitas-universitas favorit di Indonesia dan berbagai negara)
Negeri ini memang sangat membutuhkan munculnya banyak wisausahawan baru, pedagang, saudagar, atau apa pun namanya yang terkait dengan aktivitas perdagangan.
Menurut konglomerat Ir Ciputra, mengatasi kemiskinan dan kelangkaan lapangan kerja di Indonesia, dibutuhkan setidaknya 5 juta entrepreneur baru atau sekitar 2% dari 250 juta penduduk. Di Indonesia baru ada 500.000 entrepreneur.
Seorang pejabat tinggi Depnakerstrans bahkan pernah mengatakan, Indonesia butuh 10 juta orang wirausaha baru! Lebih banyak malah akan lebih baik tentunya. Tetapi memang tidak mudah untuk merealisasi hal itu. Ada sejumlah kendala, antara lain adalah nilai-nilai di masyarakat (terutama suku Jawa) yang dalam batas tertentu menghambat spirit wirausaha.
Nilai-nilai yang dimaksud adalah pandangan negatif terhadap profesi pedagang. Seorang dosen FBS Universitas Negeri Surabaya (Unesa) yang menggeluti kebudayaan Jawa, Drs. Sugeng Adipitoyo, M.Si., pedagang memang dicitrakan negatif. Ia bahkan mengisahkan betapa ada seorang ayah, seorang guru, melarang anaknya yang lulus sarjana, terjun di dunia perdagangan. Aja le, aja dadi pedagang. Dedagangan iku asor, begitu pesan ayah tersebut. Artinya, jangan jadi pedagang. Berdagang itu rendah derajatnya.
Apa nilai-nilai seperti itu masih kental di masyarakat Jawa? Siapa pun bisa mengajukan pandangannya. Tetapi faktanya kita jarang, mendengar istilah “Saudagar Jawa”. Kita mendengar istilah “Saudagar Cina”, “Saudagar Bugis”, “Saudagar Madura”, “Saudagar Padang”, “Saudagar Bawean” dan sebagainya, tetapi tidak pernah ada cerita tentang “Saudagar Jawa”.
Apa yang sering kita temui adalah cerita tentang para bakul – pedagang kecil umumnya perempuan di pasar-pasar Jawa. Bukan pedagang besar, juragan atau saudagar. Fenomema ini sering menarik peneliti asing untuk menelitinya.
Dalam tulisan dari penelitiannya berjudul “Wanita Pengusaha di Pasar-Pasar Jawa” (Budaya Pasar, Robert W. Hefner [ed.], LP3ES, 2000), Jennifer Alexander bahkan bertanya, adakah pengusaha Jawa?
Menarik sekali tulisan Jennifer tersebut. Ia antara lain mengatakan, bahwa kalau pun kita menerima pernyataan bahwa para pedagang Jawa beroperasi di pasar dalam suatu model yang terpadu dan bersifat kewirausahaan, maka dapat diperdebatkan bahwa mereka bukan pengusaha. Pasalnya, kegiatan usaha mereka tidak diperluas dan jarang berlangsung dari generasi ke generasi.
Dengan kata lain, orang Jawa terlibat perdagangan, tetapi tidak dalam pemupukan modal; mereka pengusaha, barangkali, tetapi bukan kapitalis.
Di bagian lain, ia juga menulis dalam setiap pemahaman komparatif yang bermanfaat, perusahaan dagang Jawa bukanlah “perusahaan keluarga”; tidak ada pula istilah yang sepadan dapat dipakai untuk itu.
Basis perusahaan itu dibangun dengan sangat lemah. Perusahaan besar pun beroperasi dengan dasar hukum yang sedikit selain izin pemerintah yang amat terbatas, tidak membayar pajak, dan pembukuan yang amat terbatas.
Selling is A Great Profession
Lemahnya semangat kewirausahaan di masyarakat Jawa inilah yang perlu perhatian besar dari para pejabat pemerintah dan cerdik pandai negeri ini. Harus ada penyadaran secara terus-menerus bahwa aktivitas berdagang sangat mulia, bukan sesuatu yang asor alias rendah.
Darimana konsep berdagang itu rendah?
Tidak perlulah dipersoalkan. Yang jelas, konsep itu menyesatkan. Warga masyarakat pun menjadi lemah, lebih suka merangkak-rangkak di keraton dengan gaji kecil sekadarnya, daripada makmur jadi pedagang dan membantu banyak orang lain yang membutuhkan pertolongan.
Orang Jawa harus belajar dari kelompok masyarakat lain yang lebih unggul. Mereka bisa belajar, misalnya, mengapa orang Armenia, Lebanon, Yahudi, Tionghoa banyak yang sukses dalam berdagang. Dalam konteks kebangsaan, mengapa bangsa Amerika, Jerman, Jepang dan China maju pesat peradabannya?
Ada sejumlah kunci yang bisa diajukan. Tetapi jelas, salah satu kunci utamanya adalah besarnya semangat berdagang atau berwirausaha. Semangat untuk menjadi penjual, menjadi salesman, menjadi pedagang, pengusaha, atau saudagar. Bagi orang-orang ini, penjual adalah profesi yang agung. Selling is a great profession!
Di Amerika Serikat, atau di negara maju lainnya, para penjual sejatinya memang kelompok orang yang sangat berjasa. Merekalah yang berjasa menjadikan negerinya menjadi makmur dan kuat. Mereka menjual segala produk negaranya, mulai jarum, komoditi pangan, perkakas rumah tangga, barang elektronik, menjual buku-buku, mobil, persenjataan, hingga pesawat dan satelit. Jadi, yang membesarkan AS menjadi negara adidaya sejatinya bukan presiden, senator, gubernur, tetapi lebih karena jasa para penjualnya.