Surat untuk Toety Azis
Info Baru

Surat untuk Toety Azis

Bagi sebagian jurnalis, terlebih petinggi media, apa yang diingat dari masa orde baru? Tiarap. Bikin berita apa saja, tapi jangan menyinggung suku, agama, ras, antar golongan, dan dua hal lain ; tentara dan cendana.

Itu sebabnya, saat pembredelan Majalah Tempo, Tabloid Detik, dan Majalah Editor terjadi, tak semua media massa mau memberitakannya.

Jikapun ada, rata-rata berkesan berat di konten dengan muatan pernyataan Menteri Penerangan Harmoko atau pejabat lain yang isinya mengecam berita Tempo, Detik, dan Editor.

Sementara info lain, khususnya data di balik pembredelan hingga aksi menentang kesewenangan pemerintah ini tidak mendapat tempat. Itu sebabnya, Zed Abidien, mantan wartawan Surabaya Post yang kemudian aktif di Majalah Tempo pernah membuat artikel panjang yang cukup emosional. Berikut catatannya.

Hawa di salah satu ruangan hotel Mirama di jalan Raya Darmo Surabaya — kini hotel Mercure Grand Mirama Surabaya — terasa sumuk. Pasalnya, pada tanggal 23 Juni 1994 sebanyak 84 wartawan dan akademisi berkumpul untuk memprotes pembredelan majalah Tempo, tabloid Detik dan majalah Editor.

Sebelumnya, tanggal 21 Juni 1994 pemerintah Soeharto menutup tiga media tersebut. Pemerintah marah karena media tersebut dianggap kebablasan, terlau cerewet. Terutama majalah Tempo yang berani mempersoalkan pembelian kapal perang bekas dari Jerman.

Dua hari kemudian, demonstrasi menentang pembredelan berlangsung di sejumlah kota. Gerakan unjuk rasa diawali di kota Bandung. Penggeraknya wartawan, aktivis kampus dan seniman.

Lewat Surabaya Press Club – sebuah forum diskusi wartawan muda, saya bersama Halim Mahfudz (wartawan harian Surya) mengkoordinir kawan-kawan akademisi, seniman, anggota dewan dan wartawan untuk berkumpul di hotel Mirama. Acaranya orasi untuk menentang pembredelan dan terakhir melayangkan protes kepada pemerintah.

Ada 7 butir pernyataan yang diteken para wartawan, pekerja pers, intelektual dan penulis Surabaya tersebut. Antara lainnya mengutuk tindakan pemerintah, menuntut Menteri Penerangan Harmoko mundur dan menyatakan tanggal 21 Juni sebagai hari berkabung dan mendesak pers nasional untuk tidak terbit tiga hari.

Usai acara, saya dan Halim Mahfudz kembali ke kantor Tempo biro Jawa Timur yang berlokasi di sebuah ruko di jalan Sumatera Surabaya. Kami punya tugas untuk mengirimkan pernyataan tersebut ke sejumlah media di Jakarta, dan lembaga asing seperti Amnesty Internasional. Halim bertugas menyalin pernyataan dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris. Ini pekerjaan mudah bagi Halim karena dia lulusan Cornel University dan pernah bekerja di Konsulat Amerika Surabaya.

Sedang tugas saya mengirimkan pernyataan tersebut lewat faksimil milik Tempo. Sore itu sejumlah wartawan – antara lainnya wartawan Surabaya Post juga datang menemui saya. Mereka meminta agar nama dan tanda tangan mereka yang tertera di surat pernyataan dihapus. Mereka khawatir akan terjadi dampak negatif pada pekerjaannya. Dan saat itu saya memakluminya.

Esok harinya, tak ada satu pun surat kabar di Surabaya yang memberitakan soal aksi Pernyataan Wartawan Surabaya tersebut. Saya mendengar, hanya radio Suara Surabaya yang menyiarkan acara tersebut. Tetapi saya tak mendengarkan siarannya.` Karena geram, pada tanggal 25 Juni 1994 atas nama pribadi saya menulis surat protes kepada Toety Azis, pimpinan redaksi Surabaya Post.

Surat saya ketik dalam kertas memo majalah Tempo. Isi surat itu antara lain berbunyi seperti ini, “Untuk pemberitaan kasus pembredelan Tempo, Editor dan Detik, Surabaya Post sudah tidak lagi menggunakan azas keseimbangan.

Kenapa Surabaya Post lebih banyak menyiarkan statement Menteri Harmoko/pejabat yang isinya mengecam Tempo, Editor dan Detik. Kenapa aksi-aksi penentangan tindakan kesewenangan pemerintah (pembredelan pers) tidak dimuat.”`

Tetapi dalam surat itu saya juga menyatakan salut kepada wartawan Surabaya Post. “Tapi saya salut dengan wartawan Surabaya Post yang datang pada acara aksi penentangan pembredelan pers. Walau mereka tak bisa menuliskan beritanya”.

Saya tidak tahu apakah surat saya itu dibaca oleh Toety atau tidak. Kemungkinan surat saya tersebut tak dibaca oleh Toety Azis. Sebab, menurut seorang wartawan Surabaya Post, semua surat kepada Toety diseleksi dahulu oleh orang kepercayaan Toety. Ini sebuah prosedur manajemen perusahaan yang lazim.

Sebenarnya bukan Surabaya Post saja yang memberitakan pembredelan Tempo, Detik dan Editor secara sepihak. Sehari setelah pembredelan, semua koran di Surabaya – termasuk Jawa Pos — memberitakan secara headline pembredelan 3 media tersebut.
Sumber beritanya hanya dari pihak pemerintah, khususnya dari Direktur Jenderal Pers dan Penerbitan Grafika Departemen Penerangan Subrata. Tidak ada pernyataan atau pembelaan dari pemimpin redaksi Tempo, Detik dan Editor. Di sini ada aroma ketakutan dari pengelola pers di Indonesia untuk berbeda dengan pemerintah.

Entah karena surat saya atau bagaimana, sebulan kemudian ada perubahan pada pemberitaan Surabaya Post. Koran ini memang tidak berani mengkritik pemerintah terkait pembredelan, tetapi mulai berani menampilkan foto Goenawan Mohamad, pendiri dan pemimpin redaksi Tempo.

Itu terjadi saat GM bersama sejumlah rombongan wartawan Tempo dan Detik, seniman Emha Ainun Najib dan Marsilam Simanjutak melakukan safari ke Jawa Timur, termasuk ke Bangkalan Madura pada 20 hingga 22 Juli 1994. Saya lupa foto mana yang dimuat Surabaya Post, tetapi kami dari SPC menganggap itu sebuah ‘kemajuan’ dari Surabaya Post.

Karena itu SPC perlu memberikan ucapan terima kasih kepada wartawan dan pemimpin redaksi Surabaya Post, Toety Azis. Lewat surat kami menulis, “Bu Toety yang kami hormati. Ketika tak satu pun media daerah merasa punya ruang untuk memuat berita tentang kunjungan wartaan senior Goenawan Mohamad dan beberapa tokoh lain ke Jawa Timur, Surabaya Post menunjukkan kepeduliannya lebih dari yang lain. Kami bahkan menikmati foto kunjungan teman-teman yang sedang berjuang di Madura. Untuk itu kami warga Surabaya Press Club, ingin mengungkapkan rasa terima kasih paling dalam untuk kepudulian Ibu.”

Lalu, surat yang saya teken bersama Halim Mahfudz – selaku koordinator SPC – pada 28 Juli 1994 itu kami akhiri dengan tulisan, “Kami mengharap Surabaya Post tetap menunjukkan kepedulian lebih dari yang lain dalam masalah-masalah kebebasan pers dan demokratisasi”.

Saya juga tidak tahu apakah surat yang kami kirim lewat faksimil itu dibaca oleh Toety Azis. Yang jelas, surat dari SPC Itu lebih lunak dan lebih bersahabat dari surat pribadi saya sebelumnya. Dulu Toety Azis saya sebut “Ny. Toety Azis”. Sedang surat SPC menyebutnya sebagai “Ibunda Toety Azis”`

Saat saya bertemu GM – sebutan Goenawan Mohammad. Saya juga ‘mengadukan’ sikap pers di Surabaya, termasuk Jawa Pos, yang masih satu grup dengan Tempo. Meski masih ada hubungan bisnis dengan pemilik Tempo, ternyata Jawa Pos juga tiarap alias tidak berani bersikap kritis terhadap kasus pembredelan Tempo, Detik dan Editor.

Karena itu saya senang pada hari kedua di Jawa Timur, GM dan rombongan mendatangi kantor Jawa Pos di Karah. Kami diterima di pendopo Jawa Pos. Sejumlah petinggi Jawa Pos hadir, antara lainnya Dahlan Iskan, CEO Jawa Pos dan Margiono, pemimpin redaksi Jawa Pos. GM menyatakan kegusarannya. “Kita ini sudah tiarap tapi masih mau dikencingi ,” kata GM.

Saya menafsirkan pernyataan GM, pers Indonesia selama ini sudah patuh kepada pemerintah, tetapi masih saja dibredel dan pers Indonesia tidak bias berbuat apa-apa. Suasana pertemuan saat itu sangat hening. Usai dari Jawa Pos, rombongan GM melanjutkan ke Universitas Brawijaya Malang. Pada malam hari, GM dan Marsilam Simanjuntak, berdialog dengan mahasiswa. Esok harinya, rombongan GM meninggalkan Jawa Timur menuju Jakarta.

Karena saya tahu posisi media sangat lemah. Kami dari komunitas Surabaya Press Club, mantan wartawan Tempo dan seniman, malah bersemangat merancang berbagai aksi kampanye antipembredelan. Antara lainnya dengan menyelenggarakan peringatan 100 hari pembredelan Tempo, Detik dan Editor.

Acara yang berlangsung di gedung Dewan Kesenian Surabaya pada tanggal 1 Oktober 1994 berjalan sukses. Acara bertajuk Malam Seni Surabaya ini dimeriahkan aksi teatrikal penyair Widji Thukul, penampilan teater dari mahasiswa Universitas Airlangga, pentas musik dari mahasiswa STIKOSA AWS dan penampilan TEMPE DIBREDEL yang anggotanya dari mantan wartawan Tempo.

Mereka membacakan dua sajak WS Rendra dengan diiringi musik yang diaransemen Keliek M. Nugroho. Sebelum acara ditutup oleh penampilan Leo Kristi, mantan wartawan Sinar Harapan Peter A. Rohi juga memberikan pidato kebudayaan. Acara berlangsung meriah, heroik, meski tanpa diliput oleh media.

Loading...

Post Comment

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.