Di hari-hari normal sebelum Covid-19 ada, lelaki ini nomaden. Hari ini di Jogja, bulan depan di Batam, tiba-tiba di dua bulan berikutnya di Padang atau Bali. Di setiap kota, ia menghabiskan waktu 2-3 bulan bahkan bisa 6 bulan.
“Aku kerja bangun toko, kantor, atau rumah tinggal,” kata Ali Akbar membuka bincang. Cak Ali — begitu ia biasa dipanggil — akhirnya menekuni jalan yang benar, sesuai kuliahnya, sebagai arsitek setelah sekitar 12 tahun kesasar di media sebagai awak redaksi.
“Aku jadi wartawan agak aneh, lucu, mungkin kesasar,” kenangnya suatu kali. Lulusan arsitek Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo ini tidak sengaja jadi wartawan di Surabaya Post. Lulus yang seharusnya 1989, ia memilih untuk ikut kontraktor bangun gedung UPN pada 1988.
Setahun cari pengalaman di dunia konstruksi, ia balik ke Solo untuk merampungkan kuliah yang cuma kurang KKN dan tugas akhir.
“Pulang Solo sempat diajak bantu konsultan arsitek punya teman. Tahun 1990 baru wisuda. Dan kembali ke Surabaya masuk di perusahaan kontraktor sebagai disain arsitek,” akunya.
Proses ini, lanjut dia, ternyata tidak lama. Gara-gara ada ketidakcocokan ide disain dengan direkturnya yang lulusan Jerman. Selanjutnya, Ali mulai memasuki pekerjaan rutin ; bantu teman dan kakaknya buat rumah, bengkel, dan kantor, lalu iseng memasukkan lamaran ke perusahaan kontraktor dan konsultan.
“Memasuki bulan April 1991, mendadak ada panggilan dari Surabaya Post. Ini babak saya masuk pers,” kenang Ali.
Alumnus SMA Negeri 6 Surabaya ini sebetulnya sudah akrab dengan Surabaya Post. Selain karena berlangganan, ia juga sering membaca mading depan kantor TAIS Nasution dekat sekolah. Nah, setelah nganggur dia coba-coba melamar ke perusahaan arsitek yang mengiklankan di Surabaya Post.
“Saya kaget, kok ada panggilan wawancara dengan Surabaya Post?” tanyanya dalam hati. Ya sudah dia datengi, ternyata lamaran yang mestinya ke perusahaan justru disortir oleh Redaksi SP dan dia pun diwawancara.
“Waktu itu Mas Bambang Hariawan yang mewawancarai. Dia juga kaget, ternyata yang melamar adalah arsitek,” kata Ali lagi.
Pada Bambang ia menyampaikan jika tidak melamar sebagai wartawan. Tapi karena di kampus senang menulis, ya sudah, kepalang tanggung. Bersama puluhan pelamar lain, dia menjalani serangkaian tes. Akhirnya dia lolos sampai akhir dengan 6 teman.
Ali mendapat tugas pertama di desk olahraga, lalu diputar ke desk kota. Ia juga pernah diberi tugas di desk SPM (Surabaya Post Munggu).
Masuk 1990, Ali sudah muter di berbagai desk hingga jelang tutup Surabaya Post. Kemudian dia pindah ke Bali diajak Herman Basuki (mantan redaktur senior Surabaya Post, red) dan Bambang Hariawan.
“Tahun 2009 sempat dipanggil Mas Wan ke Bali sebagai Pemimpin Perusahaan Harian NusaBali. Tapi hanya bertahan dua bulan, Januari dan Februari. Karena Mas Wan tidak memberi kebebasan memajukan perusahaan sesuai ideku. Disetir terus. Semua kebijakan harus melalui dia yang waktu itu kebijakannya tidak up to date dengan kondisi lapangan,” jelas Ali.
Dari Bali, Ali bertemu kakak kelasnya di UNS. Kebetulan dia butuh project manager untuk pekerjaan pembangunan gedung di luar Jabotabek, seperti Jogja, Sumatera, Batam, Bali, dan lain-lain.
Di situlah Cak Ali merasa kembali ke jalan yang dituju. Arsitek adalah darah dagingnya karena di sanalah dia pun jumpa dengan istrinya sesama almamater dan sejurusan. “Ya dia kos depan kosan saya, pura-pura belajar bareng saja,” kenangnya.
Sekarang, bapak dua anak yang sudah pada kerja ini merasa lebih santai. Kemana-mana sama istri. Maklum, anak pertama yang lulusan Korea sudah membangun rumah tangga sejak April tahun ini. Sementara anak keduanya sudah kerja di pajak setelah lulus STAN dan kini ditempatkan di Bontang, Kalimantan Timur.
Pekerjaan yang banyak dilakukan adalah membangun gedung untuk restoran capat saji McD di berbagai daerah, membangun gedung bioskop jaringan CGV dan juga rumah-rumah pribadi yang mewah.
Meski telah kembali ke jalan yang benar, pekerjaan sebagai wartawan dan kepenulisan telah memberi warna yang menarik dalam hidupnya. Yang tentu tak terlupakan, bahwa di situ dia bisa mudah kenal dengan orang, terbiasa menembus sumber dan birokrasi, yang sekarang banyak membantu dalam pekerjaannya. Sebab, dia tak cuma membangun gedung atau rumah, tapi juga mengurus semua perijinan pembuatan gedung dan rumah sampai dengan IMB. Dia bersyukur dan kewartawanan bermanfaat besar baginya. Sukses yo Cak Ali.