Close Menu
exsurabayapost.comexsurabayapost.com
  • Info SS
  • Kiprah
  • Lho Iki Lak
  • Nostalgia
  • Usaha Rek
  • News
  • Kolom
Facebook X (Twitter) Instagram
exsurabayapost.comexsurabayapost.com
  • Info SS
  • Kiprah
  • Lho Iki Lak
  • Nostalgia
  • Usaha Rek
  • News
  • Kolom
Facebook X (Twitter) Instagram
exsurabayapost.comexsurabayapost.com
Home»Kolom»Bunuh Diri dan Perasaan Putus Asa.
Kolom

Bunuh Diri dan Perasaan Putus Asa.

Zed AbidienBy Zed Abidien20 Januari 2020Updated:26 Januari 2020Tidak ada komentar2 Mins Read
Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Email
Share
Facebook Twitter LinkedIn Pinterest Email

Dulu di tahun 70an jarang terdengar orang mati bunuh diri. Yang sering terjadi, orang mati karena duel bacokan dengan tetangganya. Mungkin saat itu belum ada sosmed, orang juga masih jarang yang berlangganan koran atau punya televisi. Paling banter mempunyai radio transistor.

Tetapi karena gara-gara mendengarkan drama radio seorang warga di desa saya mati bunuh diri. Ia kedapatan mati dengan menggantung di pohon mangga. Saya melihat dari kejauhan dengan perasaan takut. Konon, warga tersebut bunuh diri karena punya banyak utang kepada rentenir. Saat mendengarkan drama radio, ada salah satu tokoh drama yang memanggil-manggil namanya. “Ibrahim, ibrahim..” Ia menyangka, suara radio itu adalah suara orang yang menagih utang kepadanya. Itu cerita yang tersebar di desa. Kebenarannya wallahualam.

Seseorang ingin mengakhiri hidupnya antara lain karena rasa putus asa yang mendera jiwanya. Saya sendiri pernah disergap rasa putus asa, ketika badan saya diserang penyakit stroke hingga badan saya lumpuh separuh. Saya merasa hidup ini tidak berarti lagi. Tetapi beruntung karena ada istri saya, saudara saya, sahabat saya, teman dan tetangga saya memberikan dorongan semangat kepada saya. Mereka mengunjungi saya, menelepon saya agar saya bersabar dan terus berjuang. Saya dua pekan berada di rumah sakit. Entah sebab apa, saat dikunjungi saudara atau teman saya langsung menangis. Hati saya sangat rapuh.

Perlahan, setelah 3 bulan menjalani rasa putus asa, jiwa saya mulai mempunyai kekuatan. Ada seorang sahabat mengingatkan bahwa saya masih mempunyai tanggung jawab kepada anak-anak dan istri saya. Sejak itu saya mulai aktif bekerja. Saya bekerja sesuai kemampuan saya. Bekerja mengedit berita di rumah, hasilnya saya kirimkan lewat internet. Saya mengetik tulisan dengan tangan kanan, dengan satu jari telunjuk. Ini saya lakukan hingga sekarang karena tangan dan kaki kiri saya setengah lumpuh. Hingga sekarang saya sudah menjalani masa 11 tahun dari penyakit stroke yang pernah menyerang saya. Tubuh saya belum bisa normal. Kalau berjalan, kaki kiri saya masih terasa berat. Aktivitas badan saya lebih banyak mengandalkan tangan kanan dan kaki kanan. Saya sudah pensiun dari tempat kerja saya di PT Tempo Inti Media, penerbit majalah dan koran Tempo. Tetapi alhamdulilah, saya masih bisa mengantarkan dua anak saya untuk menyelesaikan pendidikan tingginya. Salah satu hikmah yang saya petik dari penyakit saya adalah setiap manusia akan menghadapi ujian dari Tuhan. Apakah seseorang bisa menghadapi ujian tersebut sangat tergantung dengan lingkungannya, juga tingkat spiritualitas seseorang.

Catatan : Zed Abidien
Penulis adalah mantan wartawan Surabaya Post, kini tinggal di Mojokerto

Share. Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Email
Zed Abidien
  • Website

Related Posts

Ruba’i Katjasungkana dan Keteguhan Memegang Prinsip

12 Januari 2021

Pak Peter, Idola yang tak Mudah Kita Ikuti

11 Juni 2020

Mencicipi ‘New Normal’

20 Mei 2020
Leave A Reply Cancel Reply

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

agenda

  • Beranda
  • Tentang Kami
  • Agenda
  • Kirim Naskah
  • Kontak
© 2025 exsurabayapost.com | komunitas alumni surabaya post

Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.