Buah Simalakama Merawat Naskah Nusantara
Kolom

Buah Simalakama Merawat Naskah Nusantara

Pemerintah dinilai abai terhadap naskah nusantara. Sebetulnya ini isu lama dan berkali-kali muncul sebagai bahan perdebatan. Persoalannya masih tetap sama, antara semangat untuk melestarikan benda berharga itu dengan kondisi riil ketidak-mampuan merawatnya secara memadai. Maka ketika perpustakaan di dunia yang menyimpan naskah-naskah Nusantara ditutup, isu itu mencuat kembali.

Sebagaimana ditulis Kompas (25/3/14), banyak naskah penting Nusantara tersimpan di luar negeri, dikoleksi masyarakat, terancam hilang dan rusak. Perpustakaan KIT (Koninklijk Instituut voor de Tropen) sudah tutup Januari lalu, perpustakaan KITLV Leiden akan ditutup Juli nanti, juga Malay Concordance Project di Australia berhenti beroperasi. Namun konfirmasi dari Roger Tol, perpustakaan KITLV di Leiden bukan ditutup melainkan digabung dengan Leiden University Library.

Tapi syukurlah kalau perpustakaan KITLV digabungkan dengan Perpustakaan Leiden sehingga yang disebut belakangan itu menjadi semakin lengkap koleksinya. Yang memprihatinkan itu, ketika KIT ditutup, sebagian buku-bukunya malah dibagi-bagikan gratis untuk masyarakat umum sehingga mereka rela antri berjam-jam mirip antri sembako. Sebagaimana dilaporkan Majalah Tempo, pada minggu ketiga menjelang tutup tahun 2013, para peminat Perpustakaan KIT dapat datang dan mengambil buku cuma-cuma. Ini ironis, sebab ketika koleksi buku-buku tersebut berada di tangan pribadi, justru menjadi sulit dilacak kembali. Hal ini malah bertentangan dengan himbauan agar masyarakat umum menyerahkan koleksinya ke perpustakaan.

Naskah Lontar Koleksi Perpusnas-2Bagaimanapun, keberadaan berbagai naskah Nusantara di negeri Belanda ini bagaikan buah simalakama. Sudah lama menjadi bahan olok-olok, bahwa untuk belajar mengenai sejarah Indonesia ternyata justru lebih lengkap dapat ditemukan di perpustakaan Belanda. Mengapa untuk belajar mengenai sejarah negeri sendiri harus datang ke negeri orang? Memang ini ironis, namun kita harus objektif, sebab bukan berarti nasib naskah-naskah berharga itu lantas akan lebih baik kalau berada di Indonesia.

Faktanya, sebagai contoh kecil, hingga saat ini ribuan naskah kuno milik Yogyakarta, ternyata masih tersimpan di Belanda. Pihak Keraton Kasultanan Yogyakarta, Pura Pakualaman, maupun Pemprov DIY hingga kini tidak bisa memulangkan naskah-naskah kuno warisan sejarah Nusantara tersebut. Alhasil, banyak akademisi dan peneliti Indonesia yang harus berbondong-bondong ke Belanda untuk memelajari naskah kuno yang memuat sejarah bangsanya sendiri.

Rektor Universitas Leiden Belanda Profesor Carel Stolker, saat berkunjung di Gedhong Jene Keraton Kasultanan Yogyakarta, Kamis (27/2/2014), membenarkan adanya ribuan koleksi naskah kuno Indonesia di universitasnya. Stolker datang ke Yogyakarta untuk menggelar pertemuan bersama Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X, yang juga bertahta sebagai Raja Keraton Kasultanan Yogyakarta.

There’s a large collection of Indonesian documents. Its like twelve kilometers of books.” (Ada banyak sekali koleksi dokumen kuno Indonesia yang tersimpan di Leiden. Jika dijajar, hampir setara dengan 12 kilometer deretan buku-buku),” tutur Prof Carel Stolker, sebagaimana diberitakan Tribun Yogya.

Universitas Leiden Belanda, kata dia, belum lama ini bahkan mendapatkan sumbangan naskah naskah kuno lagi dari Amsterdam untuk memperkaya koleksinya. Sebab Leiden memiliki jurusan yang khusus mempelajari budaya timur, budaya Asia. Bahkan, banyak peneliti dari seluruh dunia, termasuk dosen dosen dari Indonesia yang datang ke Leiden untuk mempelajari naskah itu.

Namun, ketika ditanya apakah Leiden berkenan mengembalikan naskah naskah itu ke Yogyakarta, Stolker tak menjawabnya. Ia justru menjelaskan, pihaknya kini fokus melakukan digitalisasi sebanyak mungkin naskah-naskah yang kondisinya sangat rapuh itu. Bahkan, mereka tengah merancang sebuah pusat studi Asia yang menyimpan koleksi naskah itu semua. Dengan demikian, isi naskah kuno yang merupakan sejarah bersama Indonesia dan Belanda bisa diakses oleh semua pihak.

Baik untuk kepentingan pemerintahan Indonesia maupun Belanda. “Kami digitalisasikan sebanyak mungkin, dan kami unggah ke internet, meskipun itu membutuhkan biaya yang sangat mahal, sehingga semua bisa membacanya,” tutur Stolker. Stolker juga menegaskan, sebagian besar naskah yang tersimpan di Leiden merupakan naskah berbahasa Belanda. Jadi sudah semestinya, naskah itu berada di sana.

Naskah Panji koleksi Perpusnas-2Saat ini sedikitnya 26 ribu manuskrip kuno Indonesia ada di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda. Angka tersebut belum ditambah dokumen bersejarah lain yang ada di Inggris, Malaysia, dan negara-negara lain. Sementara itu, Perpustakaan Nasional RI hanya memiliki 10.300 manuskrip kuno. Dengan kata lain, dokumen penting yang kini berada di Leiden 2,5 kali lipat lebih banyak dibanding yang berada tanah air.

Dengan penegasan itu, rasanya kurang beralasan ngotot membawa naskah-naskah Nusantara itu ke Indonesia. Kesiapan Perpusnas dan juga Perpustakaan Daerah dalam merawat naskah-naskah kuno masih belum layak diandalkan, meski tak bisa diabaikan sama sekali.

Demikian pula masalah pengadaan naskah. Kewajiban masyarakat agar melaporkan jika memiliki atau mengetahui keberadaan naskah kuno kepada kantor arsip daerah untuk selanjutnya dikonservasi oleh PNRI, rasanya akan sulit dipatuhi. Padahal, masyarakat tidak harus menyerahkan naskah aslinya kepada pihak perpustakaan. Naskah bisa tetap disimpan pemilik aslinya setelah PNRI melakukan alihmedia.

Sementara itu, kalau toh harus melakukan pengadaan buku sendiri, Perpustakaan Nasional sering kalah bersaing dalam berburu naskah kuno dengan kolektor asal luar negeri karena keterbatasan anggaran dan proses panjang birokrasi yang rumit. Menurut kesaksian Ketua Umum Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) Oman Fathurahman, meski sudah ada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 yang mengatur tentang larangan penjualan benda cagar budaya, termasuk di dalamnya naskah-naskah kuno, kenyataannya praktik tersebut masih terus terjadi.

Menyimak sederetan fakta di atas, sepertinya kemajuan teknologi harus dapat menyelesaikannya. Digitalisasi, adalah jalan terbaik yang memang harus ditempuh meski biayanya mahal. Bagaimanapun masyarakat berhak dan wajib tahu koleksi kekayaan nusantara yang selalu dipuja-puji kehebatannya namun nyaris tidak dapat diakses masyarakat secara mudah. Pekerjaan besar ini tidak mungkin hanya mengandalkan kemampuan Perpustakaan Nasional (apalagi Perpustakaan Daerah) namun harus dipanggul bersama berbagai pihak yang berkepentingan. Dari sekitar 10.000 naskah kuno koleksi Perpustakaan Nasional, konon ditargetkan 50 persen sudah mengalami digitalisasi dan trans aksara pada tahun 2014 ini. Masih butuh waktu yang lebih lama lagi untuk menyelesaikannya, sepanjang tidak terhambat masalah dana.

Kalau betul masalah dana masih menjadi hambatan utama pemerintah menjalankan program besar dan idealis ini, barangkali lembaga-lembaga internasional yang dapat diharapkan uluran tangannya.

Jadi, bagaimana baiknya? Mari kita diskusi. © Henri Nurcahyo

Catatan: Artikel ini memang ditulis tahun 2014 dan belum pernah dipublikasikan sama sekali, karena memang belum selesai.

Loading...

Post Comment

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.