Hari itu, Oktober 1989, Sri Paus Yohanes Paulus II akan berkunjung ke Maumere, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. Jacky Kussoy, fotografer freelance Harian Sore Surabaya Post, sudah menyiapkan kamera dan lensanya sejak pagi.
Ia menunggu di satu titik yang disediakan. Saat itu ada aturan, fotografer tidak boleh berpindah dari tempat yang ada sebelum Paus datang.
“Ternyata Paus datang siang hari. Kami sejak pagi sudah ditempatkan di masing-masing titik, dan tak boleh berpindah lokasi sebelum yang bersangkutan datang, lewat dan berlalu,” kenang Jacky.
Selesai memotret, ia langsung berlari menuju bandara. Sebelumnya, ia bergegas menggulung rol film.
“Di bandara, saya menitipkan rol film agar bisa diterbangkan ke Juanda, Surabaya,” tambahnya.
Semua, lanjut lelaki kelahiran Surabaya, 4 Agustus 1955 ini, dilakukan dalam hitungan detik. Maklum saja, kompetitor dia, fotografer Agence France-Presse (AFP) dan Associated Press (AP), punya fasilitas yang jauh lebih baik.
“Para fotografer AFP dan AP ini bisa langsung cuci cetak melalui ‘koper-koper’ yang dibawa. Sementara aku hanya bawa kamera,” kata mantan Redaktur Pelaksana Mingguan Memorandum ini.
Kehadiran Sri Paus Yohanes Paulus II tentu jadi momen yang istimewa. Tidak hanya bagi masyarakat Maumere, tapi juga Indonesia bahkan dunia internasional.
Pengalaman ini terus melekat di ingatan Jacky Kussoy. “Sebagai fotografer aku banyak di support oleh almarhum Mas Zaenuddin dan GBS. Dan, tentu saja oleh almarhum Kak Yuleng,” tukas Jacky.
Di luar penugasan Paus di Maumere yang datang dari Ali Salim, Jacky juga berkesempatan meliput peringatan meninggalnya Sri Sultan Hamengkubuwono IX, momentum Solo yang tak lagi menggunakan gelar Mangkunegaran.
“Saat itu saya liputan bareng M. Anis,” ujar Jacky. Ia juga diminta menulis berita tinju yang datang dari Tjuk Swarsono dan Ichwan, membuat foto cerita almarhum Mbah Masmundari. Dan tentu saja liputan berita hiburan serta seni budaya yang selalu dimuat Saiful Irwan, penjaga gawang halaman ini.
Dari Yuleng Ben Tallar, ia beberapa kali dapat request khusus memotret aktivitas pejabat pemerintahan di Jakarta. Lagi-lagi semua harus serba cepat. Karena memotret pagi, siang harus tayang di surat kabar.
“Sejujurnya hubunganku dengan semua warga Surabaya Post ketika itu sangat hangat dan baik baik saja. Kalau toh ada sedikit masalah, hanya dengan beberapa person. Itu pun hanya miss komunikasi saja,” jelas salah satu pendiri Tabloid Nyata ini.
Saat itu, kata Jacky lagi, ia juga ikut membantu Surabaya Post Minggu. “Maklum, freelance, kabeh diseseri (setiap ada kesempatan diambil, red). Waktu itu sangat disupport Mas Herman yang juga jadi saksiku saat menikah di catatan sipil. Dengan Pak Goh, Pak Imam, Ibu Tuty Azis juga baik. Bahkan Bu Tuti aku beberapa kali dipanggil, dpt bonus,” tawanya.