Tugas politik yang menyedihkan adalah menciptakan keadilan dalam dunia yang penuh dosa|
– Jimmy Carter
Musim kampanye Pilpres dan Pileg 2019 telah datang. Para calon anggota legislatif di DPRD Tingkat II, DPRD Tingkat I dan DPR RI makin sibuk saja. Begitu pula para pendukung Capres-Cawapres Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Mereka sudah bergerak jauh lebih cepat bahkan sebelum masa kampanye lewat berbagai media sosial. Hajatan politik lima tahunan ini sungguh mulai hingar bingar. Meski secara kasat mata tak kelihatan.
Kalau kita berpikir positif, berjalannya proses demokrasi di Indonesia ini tentu perlu disyukuri. Bayangkan. Negeri dengan penduduk lebih dari 250 juta jiwa ini akan memilih Presiden dan Wakil Presiden serta ribuan wakilnya dalam pemilihan yang diharapkan berlangsung bebas dan rahasia.
Tetapi di balik itu, sebenarnya, kepercayaan publik terhadap demokrasi tak juga membaik dari waktu ke waktu dalam pemilu pasca-reformasi 1998.
Hal ini tergambar dari Dies Natalis ke-35, Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 13 September 2018 yang lalu. Dalam orasi ilmiahnya berjudul “Menjaga Kepercayaan Publik terhadap Demokrasi di Era Post Truth” , pengamat politik UGM Prof. Dr. Mochtar Mas’oed, M.A. mengatakan, persepsi positif masyarakat terhadap pemerintah cukup tinggi bila dibandingkan dengan negara-negara lain, seperti Denmark, Australia, dan Swedia.
Berdasarkan data, Tentara Nasional Indonesia (TNI) sangat tinggi mencapai angka 90%, sedangkan partai politik mendapat kepercayaan yang paling rendah hanya mencapai angka 56%. Masyarakat menganggap militer Indonesia telah bekerja sesuai keinginan masyarakat, sedangkan partai politik semakin tidak dipercayai.
“Demokrasi yang diidamkan masyarakat memiliki tiga nilai dasar yaitu kebebasan, kesetaraan, dan toleransi. Politik yang merupakan panggilan hidup telah beralih fungsi. Tantangan-tantangan yang harus dihadapi saat ini adalah adanya profesionalisasi politik. Segalanya telah dimanipulasi. Kemudian ketika publik yakin bahwa yang dikatakan politisi bukan yang sesungguhnya, publik akan kehilangan kepecayaan pada nilai democratic citizenship. Adanya media baru (internet, media sosial) membawa debat politik yang cenderung tanpa identitas. Sistem politik semakin tidak relevan dengan upaya penyelesaian krisis,“ paparnya.
Prof. Dr. Mochtar Mas’oed menambahkan, secara umum terdapat tiga kualitas politisi. Pertama, passion, yang bersemangat mengabdi untuk suatu tujuan.
Kedua, a feeling of responsibility, mengejar tujuan dituntun oleh tanggung-jawab. Ketiga, a sense of proportion, yakni punya kemampuan menghadapi realitas dengan konsentrasi dan pikiran yang tenang serta kemampuan untuk ambil-jarak terhadap obyek. “Saya harap para akademisi untuk turut menanggapi tantangan-tantangan dalam dunia politik yang terjadi saat ini,“ katanya.
Banyaknya anggota DPRD dan DPR yang ditangkap aparat hukum, termasuk KPK, juga sering mengecilkan hati kita. Tahun ini saja, menurut KPK, ada 61 anggota DPR dan DPRD yang ditangkap karena korupsi.
Komentar-komentar negatif khalayak tentang wakil rakyat sudah sering terdengar. Bahkan dari kalangan internal. Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah, misalnya, pada 2016 dipecat dari partai oleh pimpinan Partai Keadilan Sejahtera. Proses pemecatannya memang tak kunjung tuntas hingga kini. Apa yang menarik tetaplah diingat masyarakat. Pernyataannya yang kontroversial, di antaranya, adalah “banyak yang masuk ke Senayan menjadi wakil rakyat kurang cerdas atau rada-rada bloon.”
Fahri Hamzah menyatakan hal tersebut dalam diskusi di salah satu TV Swasta. Fahri dilibatkan dalam diskusi dengan Direktur Eksekutif Lingkar Madani Ray Rangkuti soal 7 proyek baru DPR. Kutipan dari ucapannya antara lain adalah:
Bayangkan, dalam tradisi demokrasi anda harus memperkuat otak daripada dewan itu, karena orang dalam demokrasi itu tidak dipilih karena disukai oleh pimpinan negara atau ditunjuk oleh presiden, tapi dipilih oleh rakyatnya sendiri. Bukan karena dia cerdas, tapi rakyat suka dia, makanya kadang-kadang banyak orang juga datang ke DPR ini tidak cerdas, kadang-kadang mungkin kita bilang rada-rada bloon begitu. Tapi dalam demokrasi kita menghargai pilihan rakyat, karena itulah kita memberikan kekuatan kepada otak dari orang-orang yang datang ke gedung ini dengan memberikan mereka staf, dengan memberikan mereka sistem pendukung, pusat kajian, ilmuwan, peneliti dan lain-lain dan lain-lainnya. Itulah cara kerja dari lembaga demokrasi.”
Penilaian negatif terhadap politikus seperti itu sebenarnya bukanlah monopoli Indonesia. Simak misalnya, kata-kata Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy. Sebelum menjadi Presiden, Kennedy dalam bukunya Profiles in Courage (1957) mengutip pernyataan seorang anggota Kabinet AS yang kesal terhadap para senator ketika itu. Pernyataan itu antara lain sebagai berikut:
“While I am reluctant to believe in the total depravity of the Senate, I place but little dependence on the honesty and truthfulness of a large portion of the Senators. A majority of them are small lights, mentally weak, and wholly unfit to be Senators. Some are vulgar demagogues…some are men of wealth who have purchaced their position…[some are] men of narrow intellect, limited comprehension, and low partisan prejudice…”
Pernyataan itu adalah kritik yang sangat keras. Bayangkan, mayoritas senator Amerika (sekitar 1950-an) dinilai tidak jujur. Mayoritas mereka adalah orang-orang berkualitas rendah, lemah mental dan sama sekali tidak pantas jadi senator. Sebagian mereka adalah kaum demagog yang vulgar, sebagian adalah orang-orang kaya yang membeli jabatan mereka, sebagian lainnya lagi adalah orang-orang dengan kemampuan intelektual yang dangkal, kurang pemahaman, dan kaum partisan brengsek yang penuh prasangka.
Menurut Kennedy, Senat tahu bahwa banyak rakyat Amerika (saat itu) menyetujui pandangan tersebut. Tetapi para senator, begitu kata orang, adalah politisi – dan para politisi hanyalah memikirkan bagaimana memenangkan suara, bukan kenegarawanan atau keberanian. “Kaum ibu masih menginginkan anak-anak favoritnya untuk bisa menjadi Presiden, tetapi menurut sebuah jajak pendapat Gallup terkenal beberapa tahun lalu, kaum ibu itu tidak ingin anak-anaknya menjalani proses menjadi politisi,” tulis Kennedy dalam buku itu..
Laporan Majalah Forbes menguatkan pandangan tersebut. Menurut Forbes, jajak pendapat yang dilakukan National Opinion Research Center pada 1943 menunjukkan 48 persen responden yakin hampir tidak mungkin seseorang bersikap jujur bila terjun ke politik.Bagaimana setelah lebih dari 70 tahun?
Beberapa tahun terakhir, rata-rata 55 persen responden Gallup menyebut bahwa kejujuran dan standar etika para anggota Kongres AS (Senat dan DPR) rendah atau sangat rendah. Hanya 9% melukiskan kejujuran dan etikanya tinggi. Sebuah jajak pendapat Fox News Opinion Dynamics menunjukkan bahwa sebagian besar rakyat AS yakin para pejabat yang dipilih lebih tertarik pada kekuasaan dan kekayaan (67%) daripada pelayanan publik bagi konstituen mereka (14%).
Di wilayah Eropa, hal yang sama juga terjadi. Hasil riset media massa Eropa juga sama kecenderungannya. Di benua itu, politisi Polandia dinilai paling tidak bisa dipercaya.
Riset tersebut dilakukan oleh suratkabar Gazeta Wyborcza (Polandia), Guardian (Inggris), Le Monde(Prancis), El Pais (Spanyol) dan Der Spiegel (Jerman). Hanya 6 persen responden percaya pada kaum elite penguasa, 46 persen agak ragu dan 32 persen tidak percaya sama sekali. Politisi Polandia paling tidak dipercaya (82 persen), disusul Jerman (80 persen).
Anda pesimitis dan apatis setelah melihat semua fakta tersebut? Tidak perlu. Sebab, begitulah kehidupan politik di mana pun. Seperti dinyatakan Nikita Krushchev, pemimpin komunis Uni Sovyet di era 1960-an. Dia bilang, para politisi di mana pun sama saja.Mereka (bisa) berjanji membangun jembatan, meskipun tidak ada sungainya.
Eseis dan satiris H.L. Mencken (1880-1956) lain lagi. Ia menyebut seorang politisi yang baik dalam sistem demokrasi adalah sesuatu yang tak terbayangkan seperti kita mengharapkan seorang maling yang jujur.
Namun negeri ini toh tidak akan tutup esok hari. Kita tetap perlu mengingat, misalnya, Vaclav Havel, sastrawan Ceko yang kemudian menjadi Presiden dan memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian. Mengapa Havel terjun ke politik. Dia menjawab: “Politik yang sejati, politik satu-satunya yang saya bersedia untuk mengabdikan diri, adalah masalah pelayanan terhadap mereka yang ada di sekitar kita: melayani masyarakat dan melayani mereka yang akan hidup setelah kita. Akar terdalamnya adalah moral karena itu adalah tanggungjawab yang ditunjukkan melalui tindakan, kepada dan untuk seluruh umat manusia.”
Kita juga perlu mendengar nasihat filsuf Yunani Plato. Ia mengatakan, masyarakat tidak boleh acuh tak acuh terhadap politik. Ia mengatakan, sikap apatis terhadap masalah-masalah publik harganya sangat mahal, karena kita akan dikuasai oleh orang-orang yang jahat.
Kata-kata Jimmy Carter, negarawan dan mantan presiden Amerika, mungkin paling pas untuk memandu kita. “Tugas politik yang menyedihkan adalah menciptakan keadilan dalam dunia yang penuh dosa,” kata Carter.
Oleh : Djoko Pitono
* Penulis adalah mantan wartawan Surabaya Post
Artikel ini direpublish atas ijin penulis.