Alam Membuka Jalan, Alam Pula yang Menyelamatkan
Info Baru Kiprah

Alam Membuka Jalan, Alam Pula yang Menyelamatkan

Di kalangan wartawan muda Bojonegoro dan Tuban ada guyonan seperti ini, ‘Kalau ketemu Mbah Aguk nggak sungkem ya kuwalat’. Mbah Aguk yang dimaksud, tentu bukan sembarang orang.

Dia wartawan senior, dia pewarta dengan segudang pengalaman, Slamet Agus Sudarmojo. Di usia yang tak lagi muda, energinya seperti terus menyala bak sumur gas di kawasan tempat dia tinggal. Selalu bersemangat, selalu berapi-api.

“Tapi sebagai wartawan, saya bukan tipe yang suka dimusuhi. Orang-orang yang saya tulis sisi buruknya kadang tetap nganggap saya sebagai kawan,” kata Aguk. Seperti saat musim pilkada beberapa waktu lalu.

Para calon bupati seperti berebut menganggap Aguk sebagai teman. “Si A bilang saya sahabatnya, si B nganggap saya teman baiknya. Saya sampai di cap tim sukses segala,” katanya sambil tertawa lepas.

Kenyataannya, kata Aguk, ia hanya bekerja layaknya jurnalis kebanyakan. Menulis apa adanya. Yang baik dibilang baik, begitu juga sebaliknya. Kehormatan yang kemudian ia terima, rata-rata muncul karena pemahaman sederhana.

Ia bukan jurnalis yang suka mengeruk rupiah dari kasus. “Tapi saya manusia biasa lho. Habis lewat masanya, saya kadang menyesal. Kenapa peluang itu tidak saya ambil,” canda pria kelahiran Bojonegoro, 7 Agustus 1959 ini.

Seperti saat mendengar kabar kalau bakal ada pembuatan tanggul mengelilingi sebagian Kota Bojonegoro. “Saya langsung dapat info, tanah yang akan dibebaskan senilai lima ribu. Saya ya sempat kepikiran, ini nanti pasti naik. Tapi ya mentok sampe di situ, wong tidak punya uang. Beberapa saat kemudian dapat kabar, harga tanah sudah Rp 150 ribu. Haduh,” candanya lagi.

Aguk mengaku, ia berproses secara alamiah. Bukan sengaja menghindar, bukan pula berlagak sok suci meski diam-diam suka mencari-cari. “Mungkin jalannya begitu. Saya diselamatkan. Nggak kebayang kalau saya merangkap menjadi makelar tanah. Pasti saat nulis atau bicara moralitas, akan ada orang yang teriak-teriak bahkan mentertawakan,” tegasnya, kali ini dengan nada serius.

Mengikuti proses yang bergerak secara alamiah, juga berlaku saat Aguk memulai karirnya di dunia jurnalistik. Suami Nurhidayati ini pernah bekerja di Perum Redrying Bojonegoro, tahun 1985-1986. Lalu mulai berjurnalistik di Harian Sore Surabaya Post sejak November 1986 sampai 2002.

“Budiono Darsono, Zanel Arifin Emka, keduanya merupakan guru jurnalistik saya. Saya juga banyak belajar dari Zed Abidin (Tempo), Yusuf Susilo Hartono, dan masih banyak lagi,” kenangnya.

Surabaya Post mengenalkan Aguk pada model jurnalisme yang serba tertib. Tidak berpihak, jujur bersikap, dan disiplin dalam penggalian data. Berkali-kali ia berhadapan dengan isu tanpa fakta atau nara sumber yang sungguh-sungguh mau bicara. Semua mentah. Akibatnya dia harus menggali dari awal dan siap tidak mendapat data apa-apa.

“Tapi itu hal biasa. Mangkanya saya suka jengkel. Setelah reformasi banyak orang jadi wartawan. Tukang bikin kopi jadi wartawan. Sopir jadi wartawan. Katanya nulis berita itu mudah. Saya sapai teriak bilang, bikin berita itu susah,” tandasnya.

Dan sesuai dugaan, seleksi alam pun terjadi. Mereka yang ngaku wartawan berjatuhan. Hanya tersisa orang-orang yang memiliki nurani, sikap, hingga etos kerja yang baik.

“Jadi wartawan tak semata menggali 5W dan 1H. Ada banyak hal. Kita mesti mengukur dampak sosial, konsekuensi. Ada pertanggung jawaban. Saya bilang seperti ini karena saya paham, semua tulisan yang pernah saya buat punya risiko,” jelas bapak satu anak yang suka bermusik dan mancing ini.

Bekerja cepat namun berhati-hati. Tidak berpihak namun setia menjaga nurani. Bebas namun terbiasa untuk disiplin. Hal-hal seperti ini yang sesungguhnya sangat perlu dijaga. “Orang sering tidak mau berproses. Maunya seperti di teori. Siapa memegang kendali informasi, maka dia yang berkuasa. Prosesnya panjang,” ujar Aguk.

Keyakinan dan proses panjang adalah benteng pertahanan sekaligus nilai yang patut diperjuangkan. Karena itu juga, saat Surabaya Post mulai diujung tanduk, Aguk pun memahami. Ada banyak hal yang terjadi di luar kendali kita.

Alumnus Fakultas Hukum Universitas Bojonegoro ini mesti berhadapan dengan kenyataan. Harian Surabaya Post berakhir. Tak mau berlama-lama dia, Aguk yang sebetulanya mulai aktif sebagai stringer foto di LKBN Antara, mulai berpacu dengan waktu.

“Sampai kemudian saya bekerja di Antara sampai sekarang,” kata nominator karya foto Prapanca 1992 dan 1995 ini.

Dalam proses itu, hidup Aguk sempat berada dalam kondisi sulit. Praktis ekonomi keluarga hanya disokong gaji guru yang diterima istrinya. “Saya pernah untuk tambahan makan keluarga dengan cara memanding di Bengawan Solo. Tapi bawa kamera. Ada momen bagus saya foto. Nggak ada ya mancing saja. Pulang bawa ikan buat makan,” katanya tersenyum. (hdl)

Loading...

Post Comment

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.