“Assalamualaikum. Selamat pagi Bapak Djoko Pitono. Mohon maaf ya Pak saya mengirim email ini. Saya Bu Erna dari Singkawang, Kalimantan Barat. Saya salah satu anak dari korban pesawat haji di Kolombo, Sri Lanka, pada1978. Saya mau tanya ke Bapak, apakah Bapak bisa membantu saya untuk menghubungi Bapak H. Soeharto, pengarang buku ‘Tragedi Pesawat Haji di Kolombo’? Terimakasih Pak sebelumnya.”
Ini adalah pesan email dari Erna Fahriati SH., M.Kn., seorang Notaris di Singkawang, Kalbar, belum lama ini.
“Oh ya, Bu Erna. Tentu. Nanti sebentar lagi Ibu saya hubungi. Saya kontak Pak Soeharto dulu,” jawab saya.
“Omong-omong, kok Ibu Erna tahu saya ada hubungannya dengan buku tulisan Pak Soeharto?”
“Saya pas browsing di Internet lewat Google baca tulisan tentang buku “Sujud Syukur Seorang Jurnalis: Keajaiban di Balik Tragedi Pesawat Haji di Kolombo 1978” (Penerbit Tankali bekerjasama denganTitian Ilham Surabaya). Dan ada nama Pak Djoko Pitono dan alamat emailnya,” kata Erna Fahriati. “Saya sebenarnya iseng-iseng saja waktu browsing di Internet. Beberapa waktu lalu kan banyak pesawat jatuh. Jadi saya ingat ayah saya yang pesawatnya celaka, saat saya masih kecil,” kata Erna.
Begitulah.
Satu keajaiban terjadi lagi, 40 tahun setelah tragedi jatuhnya pesawat haji di Kolombo tahun 1978 itu. Pertama, dari 262 penumpang dan awak pesawat yang jatuh, 183 orang meninggal dan 79 orang selamat.Termasuk H. Soeharto, wartawan Surabaya Post saat itu. Keajaiban kedua, anak Mayor TNI H. Syarif, salah satu korban pesawat itu, ketemu dengan H. Soeharto, yang duduk bersebelahan dan berbincang-bincang sebelum pesawat jatuh. Ini berkat buku yang ditulis H. Soeharto pada 1978 dan diperbarui kembali pada 2017. Kebetulan saya yang mengedit.
Setelah dapat berkomunikasi dengan H. Soeharto, Erna mengatakan sangat terharu dapat kontak dengan orang terakhir yang berbincang-bincang dengan ayahnya sebelum pesawat jatuh pada dinihari 15 November 1978.
“Saya terharu Pak, dapat berkomunikasi dengan Bapak sebagai orang terakhir yang bicara dengan ayah saya. Semoga banyak berkah di usia Bapak. Saya doakan,” kata Erna. “Saya anak ke-6 Mayor Syarif dan saya seorang Notaris di Singkawang, Kalbar.”
Erna mengatakan, dirinya sembilan bersaudara. Saat ayahnya meninggal dunia dalam kecelakaan pesawat di Kolombo pada 15 November 1978, dia dan sebagian saudaranya masih kecil. Sebagian ada yang sudah kuliah tapi kemudian berhenti karena kehilangan ayah.
“Saya teringat, saat itu saya dan saudara-saudara saya berkumpul di rumah kami di Banjarmasin. Kami senang karena ayah kami sudah memberitahu lewat surat bahwa ayah segera datang. Ayah juga menyebut sudah membeli oleh-oleh dari Mekah. Ternyata kemudian datang kabar yang menyedihkan, pesawat haji yang ditumpangi ayah mengalami kecelakaan,” kata Erna.
Seluruh keluarganya mengalami shocked. Kakaknya yang sudah duduk di perguruan tinggi waktu itu pun berhenti kuliah.
Tapi Erna bersyukur. Lewat perjuangan yang keras, akhirnya saudara-saudaranya dapat menyelesaikan pendidikannya dan bekerja dalam bidang masing-masing. Delapan saudaranya itu adalah: H. Fathurrachman Arief, Drs. Hj. Novriati, Haris Fadhillah. Dra. Eny Fahrati, MM., Dr.Ir. Emy Rahmawati, MP., H. Emy Rufiaty SE, Riza Gunawan, dan Indra Wijaya K. Erna sendiri berkeluarga dan mempunyai beberapa anak. Suaminya bekerja di Kejaksaan Tinggi di Pontianak, Kalbar.
Soeharto mengatakan, saat dihubungi Ny. Erna dia juga merasakan adanya semacam keajaiban bahwa dirinya dapat berkomunikasi dengan anak dari korban pesawat haji Kolombo 1978. Dia pun bersyukur dapat nyambung.
“Saya dengan almarhum Bapak Mayor Syarif waktu di pesawat duduk bersebelahan. Beliau saat itu cerita tentang putra-putrinya yang masih kecil-kecil. Ibu anak-anaknya sudah meninggal. Beliau berbicara banyak waktu itu. Semoga almarhum ada di sisiNya selalu,” kata Soeharto pula,
Soeharto menjelaskan, buku “Tragedi Pesawat Haji di Kolombo” (Penerbit Bina Ilmu) yang ditulis pada 1978 saat itu dirinya masih sakit dan sangat trauma. Buku kedua lebih banyak cerita tentang latar belakang bagaimana dirinya dapat selamat. “Tolong saya dikirimi alamat Ibu Erna. Nanti saya kirimi buku saya yang baru,” kata Soeharto.
“Matur nuwun Pak H. Soeharto yang saya hormati,” jawab Erna pula. “Alhamdulillah. Dulu saya menyimpan buku Bapak Soeharto yang pertama, tapi sudah lama hilang.”
Uraian Menarik
Buku Sujud Syukur Seorang Jurnalis: Keajaiban di Balik Tragedi Pesawat Haji di Kolombo 1978 berkisah tentang pengalaman H. Soeharto, seorang veteran jurnalis di Surabaya, yang selamat saat pesawat yang ditumpanginya jatuh di Kolombo pada 1978.
Ratusan ribu bahkan berjuta orang Indonesia telah berhaji. Masing-masing tentu memiliki kisah sendiri yang unik. Kisah H. Soeharto, yang ditulis sendiri oleh yang bersangkutan di buku ini, juga unik dan menarik. Bahkan sangat menarik.
Betapa tidak? Pada umumnya, jemaah haji adalah orang yang secara lahir dan bathin telah menyiapkan diri beberapa waktu lamanya untuk melaksanakan ibadah tersebut. Mereka mempersiapkan dana yang cukup. Mereka juga mengikuti pelatihan menasik haji pada seorang ustadz atau kiai tertentu agar ibadahnya berjalan baik dan bahkan sempurna.
Menjelang keberangkatan, seorang jemaah haji biasanya juga mengundang kerabat dan para tetangganya dalam acara “pamitan dan mohon doa restu”. Tergantung kemampuan ekonomi dan ketokohan tentu saja. Ada yang bahkan menyembelih beberapa ekor sapi. Undangan pun bisa ratusan orang.
Saat berangkat, sang calon jemaah haji biasanya juga diantar ke Asrama Haji atau tempat penampungan tertentu oleh puluhan orang, menggunakan banyak kendaraan. Para pengantar tersebut biasanya menyalami jemaah haji itu, juga minta didoakan di Mekah untuk bisa berhaji seperti sang jemaah haji.
Tetapi apa yang dialami Soeharto ini sangat lain. Meskipun seorang muslimin, seorang penganut Islam, dia mengaku sebagai “Islam KTP”. Dia tidak pernah menjalankan salat lima waktu, nyaris tak pernah ke mushala atau masjid, kecuali di Hari Raya Idul Fitri. Tetapi dia bisa naik haji dalam arti sebenarnya, pergi ke Mekah dan Madinah, berkat undangan Kantor Imigrasi Surabaya, sekaligus untuk meliput pelayanan pemerintah terkait ritual haji tersebut.
Dari awal keberangkatannya naik haji, kisah H. Soeharto sudah sangat menarik. Tidak ada proses manasik haji sebelum naik haji. Ketika berangkat dari rumah, Soeharto hanya berangkat sendiri dari rumah dengan naik becak ke Kantor Imigrasi Surabaya, tempat anggota rombongannya berkumpul.
Semua dituturkan secara lugu alias polos, tidak ada upaya untuk menutupi kekurangannya sebagai seorang muslim. Ketika melihat Kabah pertama kali, misalnya, Soeharto juga tidak bergetar hatinya. Dia enak saja berkomentar di depan temannya, “Oh, ini to Kabah yang jadi kiblat salat orang-orang Islam.”
Menariknya lagi, dalam perjalanan pulang dari Tanah Suci, pesawat yang ditumpanginnya mengalami kecelakaan, jatuh di Kolombo, Sri Lanka. Sebagian besar penumpangnya tewas dalam kecelakaan tersebut. Dan Subhanallah, Soeharto termasuk satu di antara sebagian kecil penumpang yang selamat. Dia pun sehat hingga kini.
Kehidupan Haji Soeharto kemudian sungguh pula menarik untuk diikuti. Karier jurnalisnya terus melesat, antara lain dengan memperoleh penugasan untuk meliput berbagai acara di berbagai negara, praktis di semua benua. Veteran jurnalis yang sebelumnya mengaku sebagai “Islam KTP” ini sekarang menjadi seorang muslim yang taat.
Salat lima waktu tak pernah ditinggalkan. Sering pula tiap Subuh dia mengikuti salat berjamaah di masjid-masjid yang berbeda di Surabaya, meskipun tempatnya jauh dari rumahnya. Rumah-rumah yatim pun sering disambanginya, ingat anak-anak yang jadi penghuninya. Dia pun beberapa kali lagi pergi haji dan umrah bersama istrinya.
Setelah beralih profesi, pindah kerja dari Surabaya Post ke PT Maspion, sebuah perusahaan konglomerasi barang-barang rumahtangga, Soeharto juga berhasil menumbuhkan iklim beribadah di perusahaan tersebut. Sebagai Asisten Direksi, dia melobi pimpinan untuk membenahi mushala-mushala yang ada di masing-masing unit pabrik Maspion. Selain bertambah luas, mushala-mushala tersebut juga lebih bersih dan nyaman.
Soeharto mengatakan, dia benar-benar menyukuri nikmat yang telah dilimpahkan Allah pada diri dan keluarganya.
Orang-orang mengatakan, itulah tanda bahwa ibadah haji Soeharto adalah mabrur.
oleh : Djoko Pitono
* Penulis adalah mantan wartawan Surabaya Post