Dalam review memoriku, Budiono Darsono (BDI), yang maqom jurnalis nya sudah nyaris melampaui batas-batas halusinasi kebanyakan jurnalis di negeri ini, adalah salah satu veteran harian Surabaya Post yang genuine dan inspiring.
Celana jin biru belel rada medel-medel makainya, dompet tebel kulit mbladus di saku depan kanan, kaos item, kadang pake sendal dari ban bekas. Casual gitulah. Topik bicaranya ada aja dan faktual.
Padahal, pada waktu itu maqomnya sekadar koresponden untuk Bojonegoro. Secara hirarki dan struktural, aku dua strip di atasnya, karena aku asisten redaktur, dapat jatah seragam coklat-coklat mirip seragam lurah kini, polanya.
Mas BDI bicaranya (topiknya) sering tinggi, rodok kemaki, terus terang aku rada keki, tapi itu gak berkembang karena aku tidak bersentuhan dengannya dalam pekerjaan. Aku di sport, dia all-round menjurus deepnews. Sangat logis kalau BDI kemudian hijrah ke Majalah Tempo yang legendaris.
Pada akhirnya aku tahu, kenapa BDI kesannya seperti di atas, setelah aku gaul dengan beberapa temannya di Jakarta. Kenapa BDI yang koresponden itu kesannya banyak tahu hal-hal atau gosip-gosip tingkat tinggi. Ternyata pergaulan dan relasinya melampaui temen-temennya di TAIS dan Sikatan.
Gayanya slengek’an tapi disiplin, idealis, kreatif, kritis, smart dan humble. Itu kesimpulanku, setelah beberapa kali ketemu dan agak akrab. Mas BDI kalau ke Surabaya (kantor pusat) lebih suka menghabiskan waktu ‘berduaan’ sama Mas Zaenal Arifin Emka dan Mas Herman.
Sosok seperti itulah yang membuat aku pilih ngintil (resign dari SP) BDI ke Jakarta, ketika dia dan kawan-kawan mengelola Harian Berita Buana manajemen baru. Selain aku, ikut juga Mas Taufik Ibrahim, Antok Wardianto, Bambang Soen, Ari sapa gitu, dan Atmadji Sapto Anggoro (debutan baru sport SP).
Itu terjadi pada 1989. Siang-siang Mas BDI dan Abdul Rahman datang ke Balai Surabaya Post, memantapkan tekad kami resign dari SP.
1989 adalah tahun rada genting dalam karir jurnslistikku. Saat itu, pertama, aku sudah karyawan tetap di SP, tinggal nunggu dapat jatah rumah dan mobil Suzuki Jimny dari kantor, sesuai adat istiadatnya. Dua, seminggu sebelum mas Budi dan Mas Dul (kelak jadi duo penggede detik.com dan kini duo penggede kumparan.com) datang ke Surabaya, dua penggede Tabloid BOLA, Sumohadi Marsis dan TD Asmadi, memerlukan datang ke Surabaya (aku disuruh menghadap ke Hotel Simpang), menawariku jadi redaktur di Jakarta atau kepala biro Jatim.
Rupanya Mas Sumo dan Mas TD memantau karya-karyaku di SP dan terkesan pada artikel yang pernah aku kirim pada 1985, memenuhi tantangan pak Agil sebagai syarat resign dari Memo ke SP.
Terus kenapa aku pilih ngintil mas BDI ke BB Manajemen baru. Pertama, secara materiil (gaji, jabatan dan fasilitas) sama menggiurkannya jika mengingat gaji tetap ku saat itu di SP.
Cuma saya pilih ikut mas BDI karena aku punya hak bikin the dream team di rubrik sport, menentukan personilnya. Wani pokoke itu semangatnya, banyak temen satu korps di SP kelak di BB.
Tetapi yang lebih penting dan membanggakan, aku pengen menyadap ilmu mas BDI dan kawan-kawan yang merupakan orang-orang terbaik di Majalah TEMPO. Selain Dul, ada Zaim Uchrowi, Ahmadi Taha, yang reputasinya sudah banyak diakui.
oleh : Iwan Hadi Wirawan
* Penulis adalah mantan wartawan Surabaya Post