Saya dan Surabaya Post
Info Baru Kolom

Saya dan Surabaya Post

Senang sekali mendengar Surabaya Post akan terbit lagi. Saya termasuk di antara orang-orang yang akan senantiasa dengan bangga mengatakan, “Saya alumnus Surabaya Post lho.” Memang benar, pencapaian saya saat ini, boleh dikata, karena saya memulai karir di tempat yang tepat: yaitu di harian sore Surabaya Post, kira-kira 20 tahun yang lalu.

Persinggungan saya dengan Surabaya Post sebetulnya dimulai sejak sebelum itu, karena keluarga saya berlangganan koran Surabaya Post sejak tahun 70-an. Saya membaca SP sejak SMA. Lulus IKIP Negeri Surabaya tahun 1984, seseorang bernama Ali Salim mendatangi saya di Bengkel Muda Surabaya, tempat cangkrukan saya, di salah satu sudut kompleks Balai Pemuda. Ali Salim, wartawan senior SP, menawari saya menjadi wartawan Surabaya Post. “Kalau Anda mau, Anda akan menjadi wartawati pertama di Surabaya Post,” katanya. (Belakangan Ali Salim bercerita bahwa dia ditugasi oleh Ibu Toety Azis untuk hunting calon wartawan perempuan. Konon dulu Pak Azis tidak suka ada wartawan perempuan. Setelah Pak Azis wafat, Bu Toety memutuskan, harus ada wartawan perempuan).

Saya sangat tersanjung dengan tawaran itu. Reputasi SP waktu itu sangat bagus. Merupakan kehormatan ditawari bekerja di tempat prestisius itu. Saya buru-butu melapor pada DR. Budi Darma, waktu itu Rektor IKIP Negeri Surabaya, dan mohon maaf tak dapat menerima tawarannya menjadi dosen di IKIP. DR. Budi Darma mengatakan, “Saya kecewa, tetapi saya pikir Anda memilih jalan yang tepat, sesuai dengan bakat dan kemampuan Anda. Anda akan sukses.”

Surabaya Post, boleh dikata, merupakan segalanya yang pertama bagi saya. Pertamakali saya naik pesawat udara, ketika meliput peristiwa kesenian di Jakarta tahun 1984. Pertamakali pergi ke luar negeri, ketika mendapat hadiah dari Ibu Toety Azis (alm.) berjalan-jalan ke Jepang, hanya 1 tahun setelah saya bekerja. Konon karena produktivitas saya. Melalui Surabaya Post pula, saya pertamakali ikut fellowships, yaitu CAJ-NSK (Confederation of Asean Journalists-Nihon Shimbun Kyokai/Serikat Penerbit Jepang) bersama 15 wartawan Asia Tenggara, di Jepang. Belakangan saya rajin mengikuti berbagai fellowships lainnya, di Inggris maupun Amerika Serikat.

Dan tentu saja, saya belajar menjadi wartawan di Surabaya Post. Sebelumnya saya memang sudah menulis di suratkabar –itu sebabnya SP mengenali dan menawari saya pekerjaan- namun berupa tulisan review/resensi musik, teater, film, buku, atau artikel/opini, atau cerpen. Menulis reportase atau berita, di SP-lah saya memulai. Saya beruntung karena suratkabar ini sangat menghargai bahasa yang baik (saya sarjana bahasa), sehingga saya merasa nyaman sejak pertama. Tampaknya para senior/redaktur suka pada kualitas bahasa yang saya tunjukkan. Selebihnya, saya belajar dari mererka cara membuat berita yang memenuhi standar kualitas ideal: akurasi, efisien, efektif, lengkap, seimbang, adil, dan …. tentu saja, cepat. Apalagi kami koran sore.

Sampai saat ini ketika Surabaya News kerap mendapat kritikan dari rekan sejawat, “Kurang berita investigasi, kurang mendalam, terlalu pendek-pendek, dangkal ….”, saya mesti ‘berceramah’ tentang the nature of evening paper. Bahwa koran sore memang mesti singkat, pendek, karena harus cepat. Koran sore kalah di waktu, masa jual yang sangat pendek. Itu sebabnya koran sore sulit populer di wilayah luar kota karena jarak tempuh yang panjang. Pasar koran sore yang paling utama memang dalam kota, the city paper. Toh, Surabaya Post, pada tahun 70-80an, sangat populer di kota-kota yang jauh dari Surabaya seperti Banyuwangi, Jember, Kediri, Madiun. Bahkan di Jakarta, di habitat TIM (Taman Ismail Marzuki), kalangan budayawan, orang-orang senantiasa menyambut saya dengan hormat, “Dari Surabaya Post ya?”. Tahun 1986, ketika saya mengikuti sebuah lokakarya PWI di Makasar, sambutan kalangan pers di sana juga penuh kehormatan terhadap nama “Surabaya Post”, dan saya melihat SP dijual di kios-kios di kota Makasar.

Dalam hal isu atau berita, koran sore selalu lebih dahulu, lebih cepat, dalam menangkap dan menyebarkannya kepada pembaca. Yang disampaikan adalah kabar terbaru, berita hari ini, bukan gambaran lengkap dari sebuah peristiwa berita. Biarlah itu menjadi wilayah garapan koran pagi. Meskipun demikian, di masa Surabaya Post tahun 80-90an, laporan investigasi SP yang hanya sesekali muncul, selalu merupakan laporan yang bagus dan lengkap. Beberapa kali wartawan SP memenangkan Penghargaan Prapanca, penghargaan karya jurnalistik tertingi di Jawa Timur (setara Hadiah Adinegoro di Jakarta), karena laporan-laporan mendalamnya. Jadi, bila berita-berita SP (atau SN belakangan ini) dinilai sebagai ‘melulu straight news’, jawabannya ‘because that’s the nature of evening paper’. Tidak berarti wartawan SP atau SN tidak mampu membuat news in-depth atau investigative report.

Di Surabaya Post saya berinteraksi dengan orang-orang terbaik di bidangnya. Muflihana, wartawati yang direcruit sesudah saya namun bekerja beberapa bulan lebih awal dari saya, adalah wartawan yang sangat cermat dan tekun. Muflihana adalah pekerja keras. Bu Toety tampak sangat bangga dan puas dengan pekerjaan kami, dua wartawan perempuan pertamanya. Mufli kemudian menerima beasiswa Rotary untuk bersekolah 1 tahun di Amerika Serikat, meninggalkan saya sendirian lagi sebagai wartawati perempuan. Saat ini Muflihana sukses sebagai direktur perusahaan konsultan PR ternama, Agrakom, yang kliennya meliputi perusahaan-perusahaan besar seperty Cathay Pacific, Boeing, Intel, dan sebagainya. Suaminya, Budiono Darsono, adalah juga alumnus Surabaya Post. Selepas dari SP, Budi melangkah ke beberapa media lain, kemudian ke Tempo. Tak berapa lama kemudian, Budiono menjadi redaktur pelaksana tabloid Detik yang dikomandani Eros Djarot, sebuah tabloid yang cukup fenomenal karena bergaya tulisan ‘sekenanya’ dan berisi laporan ‘sangat kritis’. (Detik kemudian dibrejdel bersama Tempo dan Editor pada tahun 1994). Budiono kemudian mendirikan dan mengelola Detik.com, situs berita online pertama dan paling terkemuka di Indonesia. Di antara nama-nama yang seangkatan dengan saya di SP ada nama M.Anis, yang kemudian juga melangkah ke Detik, lalu Detak, dan terakhir menjadi ketua Festival Seni Surabaya selama tahun-tahun belakangan ini. Seorang kawan lagi, Zed Abidin, menjadi Kabiro Tempo di Surabaya.

Saya banyak belajar tentang penulisan yang baik dari senior yang saya hormati seperti Tjuk Suwarsono (sekarang konsultan PR dan media), Zaenal Arifin (sekarang dosen Stikosa-AWS), Rubai Kacasungkana, Suharto (sekarang Humas PT maspion), RM Yunani (masih di SN). Bahkan senior terdekat saya, Herry Mustafa juga masih di SN. Saya sendiri melangkah ke dunia televisi dengan bergabung dengan SCTV sejak stasiun TV swasta kedua di Indonesia itu berdiri di Surabaya tahun 1990. Saya pindah karena saya tertarik pada tantangan baru, dunia televisi swasta yang masih asing waktu itu. Namun mengalami 6 tahun di SP dan 6 tahun SCTV membuktikan bahwa saya memang lebih sesuai di dunia jurnalistik cetak. Saya suka menulis, dan mengalami tulisan mendalam dipotong hanya tinggal 2-3 paragraf (50 detik – 1 menit durasi baca), betul-betul membuat frustrasi. Apalagi kalau laporan kita lengkap, namun gambar tidak tersedia atau tidak memadai, sehingga berita dinyatakan tidak layak tayang. Saya kira televisi hanya cocok bagi orang yang lebih suka tampil daripada menulis.

Saya kemudian melangkah kembali ke dunia media cetak dengan bekerja untuk harian berbahasa Inggris di Jakarta, the Jakarta Post. Kemudian sejak 1999, saya lebih berkonsentarsi menjadi pengamat/kritikus media, melalui organisasi LKM Media Watch, dan mengelola Stikosa-AWS, sekolah tinggi yang mendidik calon jurnalis dan tenaga profesional bidang kehumasan.

Karir saya cukup berliku untuk akhirnya tiba pada posisi saat ini, dan semuanya, saya kira, berawal dari Surabaya Post. Seandainya tahun 1984 itu saya menolak tawaran SP dan menerima tawaran DR. Budi Darma untuk menjadi dosen di IKIP, tentu ceritanya akan berbeda. Surabaya Post benar-benar tempat yang baik. Hanya 6 tahun saya bekerja di SP, tahun 1984-1990, namun itulah tahun-tahun yang paling signifikan dalam menentukan arah hidup saya selanjutnya.

Selamat datang kembali, Surabaya Post!

Oleh : Sirikit Syah
(Ditulis tahun 2003, ketika Surabaya News ganti nama jadi Surabaya Post. Sejak April 2006 saya diminta menjadi Pemimpin Redaksi oleh pemilik dan teman-teman redaksi).

Loading...

Post Comment

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.